Sunday, March 31, 2013

Artikel Geologi Mitigasi : Nias Membutuhkan Mitigasi Komprehensif



NIAS MEMBUTUHKAN MITIGASI YANG KOMPREHENSIF
Oleh : M. ANWAR SIREGAR

Pembangunan kembali Nias yang kawasannya dilanda gempa dan tsunami pada bulan Desember 2004 dan Maret 2005, sudah harus memikirkan upaya mitigasi yang menyeluruh dan komprehensif (yang sangay luas). Bahwa sebuah kota tidak hanya terdiri dari bangunan dan infrastruktur tetapi juga ada kebersamaan dalam membangun kota. Tetapi yang terpenting dalam pembangunan Nias sekarang dan ke depan adalah kita harus membangun Nias yang aman dengan perencanaan wilayah dan kota yang tahan terhadap bencana tsunami dan gempa.
Karena Nias termasuk wilayah dalam jalur pertemuan gempa besar, baik didaratan maupun dilautan yang diwujutkan dalam gempa tektonik, gempa tsunami dan gempa vulkanik. Maka perencanaan rekonstruksi dan rehabilitasi Nias harus diawali oleh pemantauan kerentanan geologis yang berbasis risiko ancaman bencana gempa seperti pembangunan infrastruktur fisik yang berbasis tahan gempa dan pembangunan prasarana teknologi mitigasi. Perencanaan kawasan sabuk hijau (green belt) untuk pembangunan dan pengembangan wilayah kawasan pantai  Nias dan Nias Selatan sebagai wujud dari perbaikan ekologi pantai yang telah hancur dan terkait juga dengan sanitasi serta perencanaan kesehatan masyarakat jangka pendek dan jangka panjang.
Kemungkinan datangnya bencana serupa diperkirakan membutuhkan waktu yang lama, bisa saja tsunami datang dengan periode 200-400 tahun mendatang. Namun, bukan berarti harus melupakan fungsi mitigasi dalam perencanaan pembangunan Nias dan kota lainnya di Indonesia yang daratannya menghadap ke Samudera Pasifik dan Samudera Hindia. Pembangunan rekonstruksi dan rehabilitasi Kepulauan Nias sudah harus memperhitungkan segala aspek risiko bencana dimasa mendatang karena bencana masih terus memperlihatkan siklus yang dilokasi yang sama dengan intensitas yang bervariasi.
ZONASI KERENTANAN LAHAN
Dari hasil penelitian geologis di Nias, Kepulauan Nias diapit oleh empat patahan lokal, dan terbentang dari Utara Nias hingga ke Teluk dalam (Nias Selatan). Dan dari arah Barat ke Pulau-pulau Batu. Rekonstruksi Pantai Nias harus dalam pola perencanaan yang berkelanjutan dengan mempertimbangkan aspek kerentanan di pesisir pantai terhadap bencana tsunami dalam memperuntukkan lahan. Bentang alam (morfologi) Nias yang terdiri morfologi curam sekitar 10 persen, agak curam dengan luas sekitar 15 persen, morfologi miring sekitar 50 persen dan morfologi landai ke pantai sekitar 25 persen dari luas wilayah sekitar 5.625 km2. Diperlukan perencanaan zonasi bahaya dan tata ruang untuk pemanfaatan lahan yang harus dikendalikan pada daerah kerentanan sangat berbahaya hingga kerentanan aman, yaitu : Zona Sangat Berbahaya pada ketinggian 0-7 meter dari permukaan air laut yang harus dikondisikan sebagai kawasan sabuk hijau terhadap tsunami serta berorientasi pada budidaya kelautan, hutan konservasi dan bukan pembangunan konstruksi berat serta pembatasan jumlah penduduk yang tinggal dikawasan ini. Zona Berbahaya dengan ketinggian 7-20 meter dari permukaan air laut dikhususkan sebagai daerah wisata dan sebagai sabuk hijau dan hunian. Zona Cukup Aman dengan ketinggian 21-25 meter dari permukaan laut sebagai daerah yang aman terhadap aktivitas deformasi dan dapat diperuntukkan kawasan hutan, pembangunan infrastruktur pemerintahan dan swasta. Zona Aman dengan ketinggian 27-35 meter dari permukaan air laut adalah daerah aman untuk fungsi vital seperti pusat pemerintahan, pelabuhan udara, sarana telekomunikasi. Semua zonasi ini sudah harus bertumpuk pada informasi kerentanan gempa lokal sebelum dimulainya pembangunan infrastruktur yang tahan gempa.
KERENTANAN BANGUNAN
Kehancuran bangunan di Nias disebabkan oleh pembangunan tidak berdasarkan standarisasi nasional dalam menghadapi goncangan gempa, yang dibangun sebelum pada tahun 1990-an. Dimana SNI ketika itu belum memperhitungkan efek kekuatan seismik, dan masa lamanya bangunan yang dirancang hanya 25 tahun terhadap gempa dengan perhitungan siklus gempa 100-200 tahun, inipun hanya berlaku bagi gempa dengan skala sekitar 5.0-6.5 SR ketika Indonesia terus menerus mengalami gempa dari tahun 1985-an hingga 2002. Setelah adanya bencana Aceh dan Nias, SNI baru direvisi lagi tahun 2005 dengan maksimal 50 tahun daya tahan bangunan dan periode pengulangan gempa tsunami 400-500 tahun untuk gempa besar dengan magnitudo diatas 8.0 SR.
Pembangunan pondasi konstruksi di Nias sudah harus memperhitungkan gejala likuafaksi serta goncangan bangunan terhadap getaran seismik dan disesuaikan dengan ketentuan yang sudah dirumuskan dalam Standart Nasional Indonesia (SNI) tentang Peraturan Bangunan Tahan Gempa yang ditetapkan tahun 2002, yang harus bersamaan dengan pembangunan rekonstruksi dan rehabilitasi sekarang.
Model rumah tradisonal di Nias sebenarnya lebih tahan terhadap gempa dibandingkan bangunan berkonstruksi beton (semen), terlihat langsung dilapangan banyak bangunan mengalami efek likuafaksi ke dalam tanah. Kondisi tanah di Nias yang berpasir dan terendam air memang rawan terhadap gejala likuafaksi yaitu mekanisme kehilangan daya dukung tanah atau ambles pada saat terjadinya gempa atau bisa juga diakibatkan oleh energi seismik/amflifikasi seismik yang terbukti banyak merontokkan prasarana umum seperti pelabuhan udara dan dermaga laut di Gunung Sitoli dan beberapa jembatan bangunan mengalami kehancuran dampak dari tanah yang bergoncang (ground shocking effect) serta bangunan mengalami perayapan energi ke atas karena ketidakadaan busa/peredam karet pada bangunan bertingkat di Nias.
Kehancuran jembatan di Nias dapat juga dilihat dari kegagalan pilacap, kegagalan pilar jembatan yang sangat kaku ketika ada efek goncangan, dan tidak memperhitungkan efek deformasi joint yaitu kekar/retakan kecil batuan yang menunjukkan arah kemana gaya bumi bekerja disekitar areal konstruksi serta kekuatan tumpuan (bearing) yang banyak bergeser walau dengan intensitas gempa 4.0 Skala Richter (SR). Ini juga sudah harus diperhitungkan dalam pembangunan gedung vital.
Kerusakan bangunan di Nias dan juga di kota lainnya di Indonesia yang pernah mengalami bencana gempa seperti di Bengkulu lebih banyak disebabkan oleh karena banyaknya bangunan menggunakan kombinasi sistem cor ditempat dan precast (penguat kerak tuangan) yang tidak mampu menahan deformasi yang terjadi didalam pondasi dan lantai bangunan tidak berubah menjadi diafragma ketika mengalami tekanan energi gempa. Banyak bangunan perumahan tidak mengikuti aturan bangunan dirancang tahan gempa, yang diketahui dari dinding bangunan masih polos dan tanpa ada penguat antar pondasi dan antar pertemuaan dinding bangunan yang mengakibatkan struktur tiang vertikal menjadi roboh. Bangunan yang bertahan/utuh perlu penambahan kekuatan secara struktur (retroffit) dalam menghadapi perubahan joint (kekar) dibawah tanah bangunan.
Sebaliknya, bangunan rumah tradisional Nias yang lebih sedikit mengalami kehancuran, karena efek amflifikasi seismik lewat dibawah lantai dan tidak membelah lantai dasar karena memang tidak ada serta bangunan berpondasi lebar dengan kerangka kayu yang kuat untuk mendukung beban bangunan dan beban gaya inersia gempa yang telah terjadi. Disarankan kepada masyarakat Nias, yang masih memiliki rumah sederhana yang masih polos dari bata maupun dalam membangun bangunan tingkat berkonstruksi beton dan kayu sebaiknya diperkuat kerangka tiap pertemuan dinding (lateral breacking) dan pondasi dengan cara dilapisi tembok penguat (shear wall) dari kayu beton (mortar).
Agar struktur vertikal (tiang) seperti dinding pemikul dan dinding geser tahan terhadap efek goncangan, lalu pondasi lantai bawah harus ada ruang bukaan, dikhususkan untuk bangunan yang menghadap ke daerah pantai untuk mengurangi beban tekanan pada bagian atas bangunan agar tekanan air yang menghantam bangunan semakin kecil. Struktur bangunan yang ada harus dari bahan yang kuat tetapi ringan untuk mengurangi beban pikul dan kehancuran bangunan serta mengurangi jumlah korban.
Bangunan berkonstruksi beton untuk sarana vital lebih baik menggunakan peredam/bantalan karet seperti model bangunan gedung dan rumah di Jepang, yang berfungsi untuk meredam getaran gempa bumi dan tanah agar tidak masuk atau menjalar ke dalam struktur bangunan bagian atas. Untuk meredam getaran gempa yang ada baiknya menggunakan rubber bearing atau juga base isolation, yaitu bantalan yang terbuat dari susunan lembar-lembar karet dan pelat baja yang kemudian direkatkan selang-seling sehingga membentuk bantalan berbentuk silinder yang mampu menahan beban pikul/tekan sampai 500 bar per unit, bantalan diletakan diantara sisi dan sisi dibawah balok pondasi yang mampu meredam getaran sampai 75 % dan sisanya diteruskan ke struktur bagian atas.
TEKNOLOGI MITIGASI
Sistem peringatan dini sebaiknya ada di setiap kota di Indonesia agar didapat kerapatan peralatan stasiun pemantauan pemetaan kawasan bencana dengan bantuan GPS (global positioning system) dengan meningkatkan pembangunan teknologi mitigasi seperti sistem jaringan seismograf, Stasiun pemantauan jaringan pengukur tahan lisrik batuan, pemasangan stasiun jaringan pengukuran gas radon pada sumur-sumur migas diseluruh Indonesia, stasiun pemantauan kemiringan pantai dan pasang surut nasional yang perlu dimodernisasikan karena prediksi gempa tsunami dapat dilakukan dengan menerapkan System Tsunami Risk Evaluation and through Moment from Realtime System atau Tremors, yang terbesar di lokasi 54 stasiun di pelabuhan utama.
Harus ditingkatkan ke Jaringan Sistem Peringatan Dini terhadap bencana dan bukan saja untuk keperluan pelayaran serta rekayasa pantai dan eksplorasi migas. Dengan mengganti peralatan yang menggunakan sistem analog ke sistem digital elektronik dan dilengkapi lagi dengansarana komunikasi yang cepat sehingga bisa berguna untuk pemantauan dan akses jarak jauh yang realtime agar didapat kerapatan dan keakuratan dilapangan untuk kemudian dipetakan dalam tiga dimensi.
PETA TOPOGRAFI KELAUTAN
Nias ternyata belum memiliki dokumentasi peta-peta dasar geologi yang lengkap sebelum bencana, terbukti ketika terjadi bencana tidak adanya alternatif jalur pengiriman bantuan karena daerah sangat terisolir, mengakibatkan bantuan banyak terlambat di pelabuhan dan hancurnya prasarana karena pembangunannya banyak idak bertumpuk pada informasi peta dasar geologi yaitu peta topografi daratan dan kelautan/batimetri.
Peta batimetri Nias sangat diperlukan sekarang, mengingat wilayah pantai barat Nias telah mengalami pengangkatan lebih tinggi daripada kawasan pantai timur setinggi 1-2 meter diatas permukaan air laut. Batas persil permukaan pantai telah berubah di Nias Selatan dengan maju kearah laut sekitar 100 meter dan naik sekitar 0,5 m. Selain itu, pantai timur Nias juga mengalami pengangkatan setinggi 50 cm dan adanya amblesan selebar 7 meter.
Peta batimetri/analisis kontur dasar permukaan pantai sangat penting dalam penataan ulang kawasan pantai dan penentuan zonasi kerentanan untuk pembangunan infrastruktur, pembuatan peta topografi kelautan di Nias dapat diperoleh melalui data satelit yang beresolusi tinggi berskala 1 : 2.500 dari satelit EROS, ICONOS, dan Quik Bird milik Amerka Serikat serta SPOT milik Perancis yang selalu hadir dalam 2-3 jam melintasi wilayah Indonesia.
Dengan data kontur hasil penginderaan jarak jauh ini, posisi wilayah pesisir dan luasan daratan yang hilang serta rawan terkena gelombang air lautan dapat diketahui berdasarkan data Digital Elevation Model (DEM) yang mendekati permukaan air laut rata-rata (mean sea level) lalu di buat peta tiga dimensi. Data ini akan membantu Pemkab Nias dan Nisel serta Pemprovsu dalam merekonstruksi pembangunan kawasan Pesisir Barat dan Timur Sumatera Utara terutama menghitung wilayah yang terabrasi (tererosi) dan terendam atau ambles pasca gempa untuk menyusun kembali tata ruang wilayah Nias dan Sumut di masa mendatang.
MITIGASI BENCANA
Untuk mengurangi dampak dari akibat proses yang masih terus menerus berlangsung di Pulau  Nias diperlukan suatu upaya mitigasi yaitu Pertama, menyiapkan data-data terbarukan dan informasi daerah rawan gempa dan tsunami berikut yang akan dilanda bencana sebagai wujud dari siklus/pengulangan bencana pada lokasi yang sama. Kedua, Pemkab Nias dan Nias Selatan harus menata ulang lokasi yang hancur dengan bertumpuk pada informasi dasar geologi dan penegakan peraturan pembangunan fisik seperti infrastruktur gedung harus dikendalikan di wilayah yang rentan bencana.
Ketiga, menyoalisasikan pemahaman bencana gempa dan tsunami kepada Masyarakat Nias berupa visualisasi gambar-gambar, proses pembentukan lempeng tektonik atau lahirnya sebuah gunungapi yang dapat diperoleh dari saluran Televisi seperti National Geografic atau Discovery. Jika perlu hewan difilmkan karena mampu membaca dan memahami gejala-gejala alam seperti yang terjadi ketika bencana maut datang. Lebih edukatif dan dapat membimbing untuk melakukan tindakan pencegahan.
Keempat, masyarakat Nias perlu menyadari mereka mendiami lempeng bumi kepulauan yang rentan bencana, karena merupakan lokasi pertemuan kegempaan besar, diminta kepada masyarakat Nias agar tidak membangun bangunan lebih dari dua tingkat dan usahakan agar bangunan itu mampu meredam goncangan gempa karena permukaan tanah di Nias mudah mengalami penurunan akibat adanya anomali negatif yang mempengaruhi kekuatan bangunan disekitarnya. Kelima, mengatahui cara menyelamat diri dari bencana. Pemkab harus memberikan pelatihan penyelamatan diri terhadap masyarakat Nias seperti yang telah dilakukan Pemkab di Sumatera Barat dalam mengantisipasi bahaya tsunami di masa mendatang.

Tulisan ini sudah Diterbitkan Surat Kabar Harian ”ANALISA” Medan, Tanggal 21 Juni 2006

No comments:

Post a Comment