Sunday, March 31, 2013

Artikel Geologi Gempa : RELAKSASI GEMPA BESAR MASIH ANCAM INDONESIA


RELAKSASI GEMPA BESAR MASIH ANCAM INDONESIA

Oleh : M. Anwar Siregar



Letak kondisi geologi bumi ruang Indonesia telah diidentifikasi adanya “kawasan pertumbuhan baru” gempa diatas kekuatan 8.0-9.0 SR dalam 10 tahun mendatang dan merupakan daerah yang akan menghasil “musim panen” bencana gempa oleh efek perubahan siklus gempa singkat dan akan mengubah kawasan peta gempa di Asia Tenggara menjadi bencana kematian dari kegempaan Pantai Barat Sumatera.
PROSES GEOLOGI
Informasi geologi dapat digunakan untuk memahami proses dan kondisi karakteristik struktur geologi yang menghimpun suatu wilayah antara lain : Pertama, memahami proses waktu dan kondisi geologi batuan dari aktivitas lempeng bumi sebagai peristiwa siklus/proses (daur ulang) geologi kegempaan dalam mengakumulasi energi penahan oleh pergeseran dengan energi pendorong dengan rentang pelepasan energi ratusan tahun, puluhan tahun, teratur, pelan tapi pasti, suatu saat kemudian menghasilkan periodesasi gempa yang dahsyat. Buktinya, dapat dilihat gempa di kota Bam , Iran terjadi gempa dengan siklus 2000 tahun.
Kedua, memahami proses kontrol dan rotasi pergerakan lempeng ke zona subduksi sepanjang pertemuan lempeng tektonik, mempelajari ruang daerah tersebut apakah terdapat patahan terkunci, terutama dibatas konvergensi lempeng Indo-Australia dengan subduksi Sumatera-Jawa-Nusa Tenggara dan akibat-akibat pemekaran laut oleh arus panas untuk melakukan penghancuran terhadap lapisan luar padat, dengan adanya proses geologi yang teratur memungkinkan wilayah Indonesia mengalami perubahan geologi batuannya untuk membentuk tatanan geologi yang baru dan kompleks luar biasa.
Bahwa proses daur ulang terhadap stabilitas struktur geologi yang memayungi suatu tata ruang wilayah dapat diinterprestasikan melalui perubahan kekuatan blok batuan yang telah sensitif terhadap responsif dari gerak relaksasi gempa-gempa terdahulu, bila gempa kembali terjadi lagi pada lokasi yang sama maka energi gempa akan lebih mudah melewati dan menghancurkan batuan yang belum kondusif, menghasilkan efek goncangan berganda yang lebih keras, karena ditemukan ruang yang memisahkan batuan menjadi beberapa blok batuan. Tiap blok Batuan menghimpun suatu kawasan permukaan bumi bisa mencapai 400-2200 km tidak tahan terhadap guncangan gempa berikutnya sehingga tidak aman bagi kehidupan manusia terutama menjadikan sebagai daerah hunian padat. Fakta, gempa yang terjadi di Bengkulu, Sumatera Barat, Simeulue dan Nias dalam periodesasi gempa singkat.
FREKUENSI GEMPA MENINGKAT
Terbentuknya daerah kritis gempa di pantai Bengkulu dengan ditemukan pegunungan raksasa bawah laut, maka wilayah Indonesia semakin terancam dari kehancuran gempa. dan menempatkan Indonesia sebagai kawasan seismik yang tinggi berperingkat nomor 1 (satu) dunia sejak gempa Bengkulu tahun 2000 dan Aceh tahun 2004 hingga gempa Simeulue-Mentawai (2008-2010) telah mengalami eskalasi frekuensi semakin tinggi dalam banyaknya terjadi gempa, bisa mencapai 870.000 kali dalam setahun (Sumber USGS 2010) dan terdapat 90 persen dari semua gempa dunia yang tercatat sebelumnya mencapai 650.000 kali tergolong gempa tektonik merusak dengan rata-rata kekuatan gempa antara 3.5-7.7 SR berlangsung 450 kali di Indonesia (Sumber BMKG 2009), sehingga Indonesia membutuhkan biaya rekonstruksi dan rehabilitasi daerah sebesar 20 triliun rupiah.
Frekuensi relaksasi gempa meningkat disebabkan oleh lajur sumber panas bumi yang membentang sepanjang 5.600 km mulai dari Palung Laut Dalam Andaman-Nikobar hingga ke Busur Banda Timur lalu menerus lagi ke wilayah Maluku hingga ke Sulawesi Utara ke batas Lempeng Philipina, tercatat lebih dari 45 zona subduksi dengan lebih 1200 titik rawan  gempa tektonik didaratan dan lautan dan 45 daerah tsunami maut, 28 Gunungapi aktif type A dari total 400 gunungapi di Indonesia. Jadi , Indonesia masih aktif mengalami musibah bencana maut gempa, gunungapi, gerakan tanah dan tsunami maut akibat relaksasi gempa bumi belum berhenti di wilayah Bumi Indonesia kerena titik keseimbangan belum stabil.
Data statistik frekuensi gempa penulis catat, sejak terjadi gempa Aceh tahun 2004 berkekuatan 9.1 SR dengan gempa susulan berkekuatan 4-5 Skala Richter (SR) sebanyak 20 kali yang dirasakan oleh masyarakat. Gempa Nias tahun 2005 dengan kekuatan utama 8.7 SR diiringi gempa susulan sebanyak 48 kali dengan kekuatan 3.5-4.9 SR. Gempa Yogya dengan 5.9 SR tahun 2006 terjadi 58 kali gempa susulan berkekuatan 3.5-4.9 SR yang dirasakan oleh masyarakat dan memicu sesar-sesar daratan Jawa yang lama tertidur. Gempa Pangadaran disertai tsunami berskala 6,3 SR ke atas dengan gempa susulannya 60 kali lalu terjadi gelombang kuat dalam waktu bersamaan di tiga lokasi yang berbeda di Selat Sunda. Peningkatan frekuensi gempa ini telah memicu terjadinya gempa tremor diwilayah Lampung dan Bengkulu hampir setiap hari selama 3 bulan dari Bulan Juli-September 2006 hingga terjadi gempa cukup kuat di Muara Sipongi Desember 2006, lalu disusul gempa 5,8 SR dan 6.0 SR di Sumatera Barat Maret 2007, gempa susulannya berlangsung 350 kali yang dirasakan masyarakat. Gempa Bengkulu September dan November 2007 dengan gempa utama berkekuatan 7.9 SR dengan gempa susulan berlangsung 450 kali dan diantaranya terdapat gempa cukup kuat diatas 6.0 SR, Gempa Bengkulu mengguncang Aceh, Sumatera Barat, Jambi, Sumatera Utara, Batam, dan Singapura. Gempa Simeulue Februari 2008 dengan kekuatan utama 7.3 SR mengguncang Sumatera Utara-NAD, lalu mentransfer energi gempa susulan ke blok gempa Bengkulu sehingga terjadi gempa dengan kekuatan 6.8 SR. dengan gempa susulan mencapai 105 kali dengan kekuatan dibawah 3-4.5 SR
Susulan transfer energi gempa ke Sumatera Barat dengan terjadi gempa tahun 2009, kekuatan 7,6 SR, gempa susulan mencapai 450 kali, energi relaksasi gempa terus menekan zona patahan Mentawai dengan terjadi gempa kuat sepanjang tahun 2010 di Simeulue, Meulaboh dengan kekuatan 7,2 SR. Puncak penghunjung tahun 2010 terjadi tsunami maut di Mentawai dengan kekuatan 7.2 SR, gempa susulan masih berlangsung dan penulis catat sudah berlangsung 20 gempa susulan hingga gempa terjadi lagi kedua kali di Pagai.Selatan dengan 5.8 SR dalam kurun sebulan. Diperkirakan pada tahun 2011 relaksasi gempa bumi akan berlangsung lebih cepat karena siklus deformasi patahan saat ini dalam kondisi remuk dan masih dalam “keadaan pusing”.
Peningkatan intensitas tersebut telah memperingatkan bangsa ini untuk selalu mempersiapkan diri karena riwayat gempa yang tecatat tidak pernah menurun tapi meningkat tajam. Dari data USGS Earthquake menyebutkan intensitas gempa Indonesia jauh lebih sering dibandingkan gempa bumi di Jepang, Rusia dan Iran, terlihat dari intensitas gempa terjadi sejak tahun 2000 hingga ke tahun 2010 tercatat 80 kali gempa kuat yang merusak ataupun yang dirasakan langsung oleh masyarakat dengan kekuatan 6.0-9.0 SR. Data BMKG juga mencatat posisi Indonesia paling sering mengalami gempa dahsyat hingga dalam setahun mencapai 870.000 gempa.
RELAKSASI GEMPA BESAR
Umumnya daerah penghasil “musim panen” gempa terletak dipinggiran pertemuan subduksi Lempeng Benua-Samudera dan posisi Lempeng Sumatera-Jawa berada dibatas konvergen dua lempeng tersebut sehingga relaksasi gempa besar yang diakibatkan oleh tumbukan dua lempeng besar diprediksi suatu saat berpotensi menghasilkan gempa strategis ke berbagai kawasan dunia melalui beberapa zona kerentanan geologis yang tinggi dan dalam kondisi “matang” antara lain; 1. Mulai rapuhnya palung Laut Jawa yang berbatas ke Selat Sunda disebabkan oleh berbagai tekanan dari beberapa lempeng yang mengeliligi Indonesia . Penghancuran sistimatis telah dimulai oleh efek perobekan gempa Aceh-Nikobar-Nias-Bengkulu-Simeulue setelah gempa 2004, telah memecah daerah blok batuan (lempengan) seluas 200.000 km bersambung ke patahan Burma hingga mendekati zona patahan Pantai Timur Thailand dan Malaysia, tekanan-tekanan dan pergerakan frontal lempeng telah mengaktifkan patahan daratan diwilayah “ring of fire”, antara lain Pegunungan Himalaya yang membentang sepanjang 4000 km hingga daratan Semananjung Malaya melalui patahan daratan Burma serta patahan Mergui dan bersambung ke pantai Timur Sumatera yang masih bersentuhan dengan patahan menyilang Aceh-Bahorok (Sumut). Memberikan kecepatan penjalaran energi responsif penghancuran batuan tua ke muda lebih cepat lagi sehingga akan ada pertumbuhan kawasan gempa baru dengan periodesasi gempa singkat dan kuat, terlihat pada gempa Bengkulu 2007, 2008 dan gempa Simeulue tahun 2005, 2008, 2010, Gempa Nias 2005, Gempa Sumatera Barat 2007, 2009 dan 2010 di Mentawai.
2. Potensi terjadinya gempa dan tsunami di sejumlah pantai di Indonesia akan semakin meningkat terus. Hal ini disebabkan beberapa titik rawan tsunami memasuki percepatan periode ulang kritis pelepasan energi gempa dalam waktu singkat dan bersamaan. Faktanya : Pantai Barat Sumatera telah ada perubahan bentuk pantai dan batimetri (topografi) kelautan oleh pembentukan gunung bawah laut oleh pembenturan lempeng bumi, di Laut Maluku-Sulawesi telah ditemukan pembentukan zona retakan bumi oleh gunungapi bawah laut, dan Laut Maluku-Papua terdapat pergerakan tekanan seismik yang tidak pernah berhenti akibat “terlumat”nya lempeng Maluku dan menjadikan Kepulauan Maluku suatu saat menjadi “Aceh kedua”.
Daerah kritis “musim panen” gempa serentak antara lain Aceh-Sumut tahun 1873,1892,1921,1928,1936,1941,1987.2004, Patahan Enggano tahun 1850,1905. Patahan Mentawai tahun 1797,1881,1883. (2010 telah dilepaskan dengan tsunami mencapai 12 meter). Patahan Selat Sunda tahun 1883,1870,1921,1959,1994. Patahan Laut Jawa tahun 1867,1900,1958. Patahan Selat Bali-Nusa Tenggara tahun 1896,1954. Patahan Kepulauan Maluku tahun 1810,1883. Sulawesi tahun 1967,1969. Patahan Papua 1887,1976,1982,1996. Variasi siklus dapat terjadi 2-10 tahun, 15-70 tahun dan 100-200 tahun.
SIAPKAH KITA?
Siapkah kita dalam menghadapi musim panen gempa tersebut? Tidaklah mengherankan bila terjadi “musim panen” tsunami, vulkanik, tektonik dan gerakan tanah disertai banjir secara serentak terjadi di 2-3 propinsi pada tahun ini dan menimbulkan jumlah korban mendekati ribuan jiwa dan rekonstruksi tata ruang menelan biaya diatas 20 trilium, angka ini bukan “angka mimpi”, sejarah sudah mencatat itu bagaimana Indonesia semakin miskin karena ada korban menjadi miskin dan menambah deretan pengangguran, sumber-sumber daya semakin menipis akibat bencana, disebabkan juga oleh kerakusan menguras berbagai sumber-sumber daya didaerah bencana. Jadi, siapkah kita menghadapi panen bencana dari beberapa kawasan kritis siklus gempa tersebut diatas di tahun depan dalam waktu bersamaan?
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer
Tulisan ini sudah pernah dimuat atau dipublikasi di Harian "WASPADA" Medan

No comments:

Post a Comment