Sunday, March 31, 2013

Artikel Geologi Gempa : Building Code Daerah Rawan Gempa Tarutung



Senin, 11 Juli 2011


BUILDING CODE DI DAERAH RAWAN GEMPA TARUTUNG
Oleh : M. Anwar Siregar

Perubahan siklus gempa di Indonesia sekarang berlangsung cepat, ditandai oleh perubahan tektonik baru (neotektonik) pada jalur sesar-sesar yang tidak aktif berubah menjadi aktif akibat adanya tekanan responsibilitas dari ketidakseragaman susunan batuan memungkinkan terjadi kecepatan gelombang seismik diatas kekuatan rata-rata 6-7 Skala Richter (SR) pada daerah rawan gempa menjadi semakin rentang mengalami peremukan batuan, walau kekuatan gempa termasuk “kelas ringan” seperti pada kejadian gempa Yogya (5.8 SR 2006) dan Tarutung 5,5 SR 2011 (Sumber BMKG).
KARAKTERISTIK GEOLOGI
Karakteristik dinamika geologi didaerah rawan gempa di Tano Batak yang meliputi wilayah Tapanuli Selatan, Tapanuli Tengah dan Tapanuli Utara di batas segmen Renun-Toru di  Lembah Tektonik Sarulla di Pahae Jae oleh gejala lapangan antara lain gawir sesar, jenis batuan alluvium, terdapat deformasi sungai-sungai yang tegak maupun mendatar sebagai cermin adanya perubahan lateral di dalam kondisi batuan dasar, gerakan tanah sering terjadi disebabkan oleh gempa bumi yang berlangsung kontinu dalam skala ringan, proses eksogen berlangsung cepat, pelapukan batuan dan erosi semakin cepat terurai dan memudahkan terjadi pelepasan material kekuatan batuan. Contohnya terdapat zona hancuran batuan yang sering terjadi di wilayah Pahae Jae Julu dan Aek Latong yang masuk ke dalam titik hunjaman patahan besar sumatera. Akibat penguraian pelapukan batuan di daerah tersebut maka akan terjadi perpindahan massa batuan yang mengganggu kestabilan lereng, distabilisasi pergerakan kandungan air, batuan berubah lembur, ada efek penurunan tanah disertai perubahan kontur-kontur tanah semakin cepat bergerak ke daerah yang tidak stabil berakhir pada gerakan tanah yang luas.
Kaitan gerakan tanah pada sarana fisik pada bangunan yang mengalami gempa terutama didaerah yang berbentuk lembah tektonik seperti gempa Tarutung merupakan gejala pengulangan kejadian gempa di era akhir tahun 80an, siklus periode pengulangangan 20 tahunan dari kejadian sekarang di tahun 2011, siklus ini dapat juga “membidik” ke tata ruang Tapanuli Selatan dan Padangsidimpuan karena diwilayah Sipirok masih dalam satuan kesatuan blok tektonik dengan periode pengulangan gempa mendekati 70-80 tahunan.
Dari pengamatan penulis yang melintas di daearah rawan gempa Tapanuli Utara, hancurnya sarana fisik yang ada lebih dititikberatkan pada letak pondasi yang tidak sesuai dengan peruntukkannya, dan tanah-tanah pondasi itu lebih banyak dipadatkan dengan material tanah yang sejenis serta jarak sarana ke zona patahan gempa lokal terdekat 12 km. yaitu zona patahan di Lembah Sarulla yang ditunjukan oleh karakteristik sungai-sungai bermeander tajam, terdapat gejala panas bumi, bau belerang.
Efek yang harus diperhitungkan saat ini adalah merelokasi dan mendata perubahan bentuk topografi tanah didaerah tersebut, yaitu pertama, memahami arah gerakan a-seismik pada geologi bawah permukaan, kedua kondisi kekuatan tanah sekitarnya pasca gempa untuk menerima beban pikul bangunan ketika dilakukan rekonstruksi fisik, ketiga mempelajari karakter joint batuan untuk pembangunan fisik berat dan aliran gerakan air bawah tanah yang banyak terbentuk di lembah Sarulla hingga menuju posisi sinklin graben Padangsidimpuan yang sempit memanjang melintasi wilayah Batang Toru, Padangsidimpuan ke Sayur Matinggi dan patahan Sibolga membentuk alur lembah panjang ke muara Samudera Hindia.
BATUAN DASAR
Pembangunan ketataruangan harus berpedoman pada peta pembagian Zonasi Seimotektonik Wilayah Indonesia, memperhitungkan kecepatan gelombang batuan dasar yang berada didaerah rawan terjadinya bencana geologi, yang disebabkan karena posisi Indonesia yang terletak pada pertemuan 3 (tiga) lempeng tektonik di dunia yaitu: Lempeng Australia di selatan, Lempeng Euro-Asia di bagian barat dan Lempeng Samudra Pasifik di bagian timur, yang dapat menunjang terjadinya sejumlah bencana, pembagian zonasi seismotektonik Indonesia dibagi menjadi 6 zonasi Percepatan Puncak Batuan Dasar, lihat tabel dibawah ini.
Zonasi wilayah
Percepatan Gempa Dasar
Tingkat Keaktifan
Simbol warna dalam peta Seismotektonik
keterangan
Wilayah 1
0,03 g
Daerah kemungkinan paling kecil terjadi gempa
Putih
g ; Percepatan gravitasi bumi = 9,81  m / det2
Wilayah 2
0,10 g
Daerah kemungkinan kecil terjadi gempa
Biru
Wilayah 3
0,15 g
Daerah kemungkinan Menengah terjadi gempa
Hijau
Wilayah 4
0,20 g
Daerah kemungkinan tinggi terjadi gempa
Kuning
Wilayah 5
0, 25 g
Daerah kemungkinan lebih tinggi terjadi gempa
Coklat
Wilayah 6
0,30 g
Daerah kemungkinan paling tinggi terjadi gempa
Merah

Daerah dengan keaktifan wilayah 3 ke 6 sebaiknya menyelaraskan tata massa bangunan dengan memperhitungkan kekuatan gempa, menyelaraskan aspek fisik spasial dengan merancang pola bangunan berstruktur lingkungan seperti bangunan rumah adat yang ada di beberapa daerah di Nias, Simeulue, Sulawesi dan Papua.
BUILDING CODE
Building Code diperlukan di daerah gempa yang berpusat di Tapanuli Utara untuk memberikan gambaran tentang kekuatan sebuah bangunan dalam suatu lingkungan geologi dalam menghadapi berbagai jenis bencana alam, misalnya dalam konstruksi bangunan pemukiman dan sarana peribadatan di daerah lembah tektonik. Dalam tiap unit bangunan bisa dilakukan proses penerapan strategi rancangan dan konstruksi bangunan, dengan standar rancangan dan peraturan bangunan yang tahan gempa. Sedang faktor penentu kinerja bangunan yang harus diperhatikan masyarakat meliputi : 1. Bentuk bangunan, 2. Desain struktur dan detailing, 3. Sistem pondasi, 4. Sistem penahan gaya gempa, 5. Sistem sambungan, 6. Material bangunan, 7. Pelaksanaan konstruksi dan metoda kerja.
Kebijakan building code untuk mitigasi bangunan perlu menjadi bagian dari agenda pembangunan ketataruangan di Tapanuli Utara, Tapanuli Selatan serta Tapanuli Tengah, Padangsidimpua, Madina dan Nias secara luas dengan mengintegrasikan perhatian terhadap resiko lingkungan, ekonomi dan sosial. Penataan ruang yang didasarkan pada keseimbangan ekosistem dan daya dukung serta daya tampung lingkungan akan sangat membantu mitigasi bencana bila dilaksanakan dengan tertib yaitu : 1. Penyerasian peta kawasan hutan dengan rencana pengembangan wilayah, rencana perluasan lahan pertanian dengan Badan Pertanahan Nasional. 2. Pemetaan geohidrologis yang dapat dijadikan sebagai bahan penentuan kriteria daya dukung dan daya tampung lingkungan dalam penataan ruang. 3. Perlindungan flora, fauna, dan ekosistemnya. Hal ini dimaksudkan untuk mencegah terjadinya bencana lingkungan seperti banjir, longsor maupun dampak lainnya.
Apa yang telah terjadi di Tapanuli Utara masih akan berlanjut, sebab wilayah gempa tersebut merupakan zona pertemuaan langsung lempeng daratan dan daerah lembah tektonik yang sempit, dikelilingi depresi vulkano di masa lalu, sehingga memerlukan sentuhan aturan ketat tentang bangunan dalam suatu tata ruang lingkungan geologi, berdasarkan kekuatan dan kecepatan gelombang puncak batuan dasar yang tercatat yaitu 0,15-0,20 g, menunjukkan kemampuan beban pikul kekuatan tanah/batuan untuk pondasi bangunan dan infrastruktur fisik di daerah yang berbatasan dengan Tapnuli Utara dengan periode ulang gempa sedang 20-80 tahunan dengan masa rentang gempa besar 200 tahun.
ZONASI REHABILITASI
Diperlukan langkah strategis bagi daerah yang telah mengalami kebencanaan lingkungan geologi dengan konsep baru yaitu rehabilitasi mitigasi keruangan terhadap konstruksi bangunan dan sarana vital umum, saatnya pemerintahan daerah di Sumatera Utara menyusun dan mempublikasikan zonasi rawan gempa daerahnya untuk menjadi pegangan dalam menata zonasi ruang wilayah yang rawan gempa dengan mempersiapkan seperangkap aturan yang ketat terhadap pemanfaatan lahan (zoning regulation) bagi pembangunan sarana fisik infrastruktur yang tahan gempa dan tata ruang kota yang berketahanan bencana.
Peraturan zonasi rehabilitasi (Rehabilitation Zoning Regulation) sangat penting bagi tata ruang Tapanuli Utara, karena tata ruang bencana pada kejadian gempa masa lalu masih belum “diperbaharui” karena efek peleburan kekuatan tanah berada dalam kondisi distabilitasi berbentuk “tanah bubur”, sebab zonasi rehabilitasi tata ruang berprinsip pada ketentuan mengatur tentang klasifikasi zona rehabilitasi untuk pemulihan tata ruang lahan, yaitu pengaturan lebih lanjut mengenai pemanfaatan, penggunaan lahan dan bangunan pada zona daerah tertentu yang telah mengalami kerawanan serta kebencanaan gempa seperti yang sering terjadi gempa di wilayah Tapanuli Utara, penggunaan yang dilarang untuk masa tertentu sehingga intensitas bahaya keruangan lingkungan dapat diminimalisasi dari kepadatan pembangunan, serta ketentuan minimum eksterior prasarana.
Zonasi rehabilitasi ada mempunyai aturan yang seragam untuk penggunaan lahan, intensitas, massa bangunan, dan bergantung pada karakteristik geomorfologi yang membentuk zonasi tersebut.
Konsep zonasi keruangan rehabilitasi daerah rawan di Tapanuli Utara dan Tapanuli Tengah mungkin masih asing bagi masyarakat di sana karena selama ini yang difokuskan pada zonasi ketataruangan yang belum mengalami bencana. Aturan zonasi rehabilitasi harus dilaksanakan lebih tegas dalam mengendalikan bencana khususnya di Sumatera Utara dan di Indonesia secara umum.

M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer. Tulisan ini bisa di baca di Harian "WASPADA" Medan Tgl 9 Juli 2011

No comments:

Post a Comment