Sunday, March 31, 2013

Artikel Geologi Gempa : Tentang Gempa Jepang


Selasa, 20 Desember 2011



M. Anwar Siregar
Jepang mengalami 20 persen gempa bumi terbesar di dunia karena terbentuk pada paparan pinggiran lempeng benua
Bumi merupakan bola besar dengan garis tengah lebih kurang 12.740 km, lapisan kerak bumi yang berupa lempeng-lempeng bergerak merayap dengan kecepatan orde sentimeter per tahun. Le Pichon membagi tataan geologis lempeng dunia menjadi 6 lempeng, antara lain Lempeng Eurasia, Lempeng Indo-Australia, Lempeng Antartika, Lempeng Pasifik, Lempeng Afrika dan Lempeng Amerika. Sebagian lempengan itu bergeser membawa dasar samudera dan sebagian lempeng membawa lempeng benua.
Lempeng Australia dan Lempeng Pasifik merupakan jenis lempeng samudera dan bersifat lentur dan pergerakan paling aktif diantara lempeng besar yang ada di permukaan bumi. Sedangkan Lempeng Eurasia berjenis Lempeng Benua, bersifat rigid atau kaku, dan bergerak lambat. Pergerakan lempeng itulah yang menyebabkan sering terjadinya gempa di Jepang dan Indonesia.
Dan kini giliran Jepang mengalami bencana maut tsunami, dengan kekuatan menghancurkan dua kota Prefektur di Utara Jepang atau terletak di Pulau Besar Honshu yang telah mengalami pergeseran sumbu bumi. Dalam sejarahnya telah berulang kali mengalami tsunami besar, dan gempa yang terjadi hari jumat (11/3/2011) dengan kekuatan 8,9 skala richter terbesar dalam sejarah gempa yang tercatat pernah berlangsung di Jepang dalam kurun 140 tahun.
Rawan gempa
Komite Riset gempa Jepang (10/3/2011) memperkirakan 70 persen kemungkinan gempa besar berkekuatan 8 skala richter akan terjadi kembali dalam 30 tahun ke depan. Namun kenyataannya terjadi gempa berkekuatan 8,9 SR dua hari kemudian setelah gempa kuat dengan kekuatan 7,3 SR. Berarti ada efek yang sangat mengganggu ”isi perut” bumi Jepang.
Sebab, Jepang berada di kawasan lingkar api Pasifik dan ibukota pemerintahan Tokyo berada di lokasi rawan gempa yang paling berbahaya. Tokyo berada di atas pertemuan tiga lempeng benua, yaitu Lempeng Eurasia, Pasifik dan Laut Philipina sehingga tidak mengherankan jika wilayah Jepang banyak ditemukan gunung api dan mengalami 1.000 gempa setiap tahun .
Tokyo termasuk dalam daerah struktur geologi Kanto yang secara aktif berinteraksi dengan Lempeng Filipina, Pasifik, dan Eurasia. Sejarah gempa Kanto pernah meluluhlantakan Tokyo tahun 1855 dan 1923 memakan korban jiwa 142,807 orang, Gempa besar lainnya menghantam wilayah Jepang adalah gempa Kobe berkekuatan 7,3 SR tanggal 17 Januari 1995. Guncangan gempa di kota Kobe itu berlangsung 20 detik mampu menelan 5,500 orang tewas karena hancurnya tiang sanggahan jalur kereta Hanshin Expressway yang menghubungkan kota Kobe dengan Osaka, deretan pilar beton sepanjang 600 meter terbalik. Gempa bumi terbesar di Kobe merupakan salah satu yang paling mematikan yang melanda sebuah kota moderen.
Daerah rawan gempa di wilayah Jepang Utara merupakan sebagai bagian dari Lempeng Filipina. Jepang mengalami 20 persen gempa bumi terbesar di dunia karena terbentuk pada paparan pinggiran lempeng benua. Pulau besar di Jepang merupakan hasil interaksi pembenturan antar lempeng yang membentuk pulau-pulau vulkanik antara Lempeng Pasifik-Lempeng Laut Filipina dengan Lempeng Eurasia terletak di Utara seperti halnya pulau vulkanik di Pantai Barat Sumatera akibat pembenturan Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia dan membentuk zona benioff dan prisma akresi yang bergeser dengan deformasi vertikal sehingga dapat menyebabkan tsunami di sekitar kegempaan megatrust Nias dan Menrawai.
Efek samurai tsunami
Deformasi vertikal akibat gempa 26 Desember 2006 telah memberikan indikasi adanya longsoran-longsoran lokal pada struktur antiklin yang telah mengubah kondisi batimetri kelautan di kawasan Pantai Barat Sumatera akibat pembenturan antar Lempeng Indo-Australia dengan Lempeng Eurasia memberikan indikasi bahwa setiap terjadi gempa besar diatas 8.5 SR akan ada perubahan deformasi kerak bumi di dasar laut berupa rupture (robekan). Kekuatan terjangan gempa Aceh telah memberi efek kondisi anomali kemagnetan bumi telah mengubah koordinat beberapa pulau vulkanik di kawasan pantai Barat Sumatera.
Gempa di Jepang 11 Maret 2011 hampir mendekati kekuatan kedahsyatan gempa Aceh dengan magnitude 8,9 SR, dengan menerjang ke pulau-pulau vulkanik di Pasifik Selatan. Dipastikan wilayah geologis Jepang mengalami deformasi yang kuat. Efek gempa Miyagi telah mengubah sumbu bumi (aksis) di lokasi gempa sejauh 25 sentimeter dan menggeser pulau besar di Jepang yaitu Pulau Honshu sejauh 2,5 meter dari posisi sebelum gempa. Hal ini akan menyebabkan ada pembentukan kulit bumi yang baru, yaitu dapat saja berupa robekan baru ataupun ada zona pembentukan “bisul” pada perut bumi di Negeri Sakura, apabila ada gempa di atas 8.5 skala Richter.
Dan apabila hal ini terjadi dapat membahayakan dan meningkatkan intesitas pengumpulan energi pada zona pinggiran perbatasan lempeng bumi menjadi perubahan singkat pelepasan energi seismik. Deformasi jalur-jalur tumbukan baru disekitar dekat pantai, dan umumnya kejadian tsunami dahsyat yang berlangsung di Jepang berada tidak jauh dekat pantai (tsunami near-field).
Gempa susulan yang masih berlangsung dengan kekuatan di atas 6.0 SR akan berdampak pada perubahan tatanan geologis kerak Lempeng Filipina danpasifik akibat pergeseran tersebut, efek yang perlu diwaspadai bagi Indonesia karena pergeseran akan ada pendesakan ke zona lain, sebab dua pulau Indonesia berada dalam aktivitas ancaman gempa di zona subduksi patahan Jepang yang telah memberikan tanda berupa terjangan tsunami dengan ketinggiannya mencapai 2,5 meter di Jayapura dan Halmahera.
Kondisi ini mengingatkan kita pada pantai Barat Sumatera, hampir setiap tahun mengalami gempa kuat merusak karena faktor deformasi kerak bumi mengalami “pendesakan” dan memerlukan suatu ruang untuk berinteraksi dan menunjukan jati diri misalnya pembentukan gunungapi baru seperti disebelah baratdaya Bengkulu karena wilayah laut Indonesia yang luas dianggap tepat untuk ditekan sebagai bagian dari dinamika proses menuju keseimbangan/isostatis di permukaan bumi yang menyebabkan relaksasi bumi belum berhenti dan gempa sampai detik ini terus berlangsung.
Lempeng Jepang
Seorang ahli geologi dari Jepang menyatakan bahwa dirinya menemukan satu lempeng tektonik baru di bawah Tokyo. Jika temuan ini benar, pemerintah Jepang harus mengevaluasi rencana penanggulangan gempa bumi yang telah dibuat sebelumnya. Temuan ini di umumkan pada tahun 2010, demikian dilansirkan kantor Berita Kyodo Oktober 2010 lalu dan diperkirakannya bahwa Jepang mungkin mengalami guncang-guncangan gempa yang hebat dan terbukti pada tahun ini di bulan Maret, Jepang dua kali mengalami kekuatan gempa kategori kuat sampai dengan sangat kuat
Hasil penelitian Dr. Shinji Toda berpendapat bahwa struktur geologi Kanto di Pulau Honshu dimana kota Tokyo berdiri sebenarnya merupakan lempeng independen. dan diapit oleh ke empat lempeng besar (Filipina dan Pasifik di selatan serta Amerika Utara dan Eurasia di utara) sehingga wilayah dari utara hingga selatan Jepang terus mengalami pendesakan dan pembenturan.
Dr. Shinji Toda, kepala peneliti di Active Fault Research Center di National Institute of Advance Industrial Science and Technology mengaku telah menganalisa data 150 ribu gempa bumi dengan kekuatan di atas 2 SR antara tahun 1979 hingga 2004 di daerah Kanto. Jika penemuan Toda terbukti, Jepang harus mengevaluasi kebijakan mengenai penanganan gempa bumi di sekitar Tokyo karena sebelumnya menggunakan asumsi bahwa daerah tersebut menjadi bagian Lempeng Tunggal Filipina. "Kami membutuhkan gambaran dasar untuk memahami mekanisme terjadinya gempa bumi, termasuk struktur lempeng tektonik," kata Toda sebagaimana dilaporkan oleh lembaga penelitian tersebut.
Renungan dan pelajaran bagi bangsa Indonesia untuk mempersiapkan tata ruang yang berketahanan bencana karena gempa yang terjadi di Jepang mampu meredam bangunan yang rusak dan mereka mampu mengurangi dampak buruk yang terjadi dari bangunan raksasa yang ada dan tidak menyebabkan terjadi efek ground shaking dan jikapun ada bangunan yang rusak, lebih di faktor oleh kondisi geologis air tsunami yang membawa berbagai bahan yang berat untuk tekanan bagi bangunan yang rapat. Sampah-sampah bawaan tsunami ini lebih menghancur dan merobohkan bangunan di Jepang, bukan akibat tekanan goyangan gempa. ***** ( M. Anwar Siregar : Penulis adalah Geologist, Pemerhati Masalah Lingkungan Dan Geosfer ) Tulisan ini sudah dimuat pada harian WASPADA Medan 23 Maret 2011

No comments:

Post a Comment