Sunday, March 31, 2013

Artikel Geologi Gempa : Refleksi Mitigasi Ruang Pascagempa Singkil


Minggu, 11 September 2011


REFLEKSI MITIGASI RUANG PASCAGEMPA SINGKIL
Oleh M. Anwar Siregar
 
Tekanan terhadap kerak bumi pulau-pulau vulkanik oleh proses geotektonik lempeng di Samudera Hindia yang terus menerus bergerak, berarti ada “sesuatu terjadi“ di wilayah pantai barat sumatera akan mengakibatkan terus menerus bertukar tempat atau posisi koordinat tanah dan batimetri laut/pantai bergeser sehingga hal ini dapat menyebabkan peramalan perubahan laut di masa mendatang semakin sulit.
Kejadian gempa yang sering terjadi di wilayah blok Aceh-Nias meliputi kawasan pulau-pulau Banyak, Simeulue. Singkil dan Nias merupakan bagian dari integrasi yang masih berlangsungnya proses relaksasi dan isostasi (keseimbangan) seismik gempa di pantai barat sumatera terutama gempa masih berpolarisasi di wilayah utara sumatera adalah dampak akumulasi perubahan struktur kerak samudera yang berubah-ubah dengan ditemukan perubahan bentuk dasar tanah/batuan yang ikut bergeser dan terangkat serta turun oleh kejadian gempa dahsyat Aceh-Nias tahun 2004-2005, sehingga diwilayah deretan pulau-pulau vulkanik Aceh dan Nias itu masih berlangsung gempa hingga ke detik ini.
GEMPA SINGKIL
Gempa masih berlangsung diwilayah Aceh terutama di Kepulauan Simeulue merupakan akumulasi gerak relaksasi bumi yang belum seimbang, disebabkan oleh mobilitas Lempeng Indo-Australia masih terus melakukan ’’perkelahian abadi“ dengan Lempeng Eurasia.
Fakta dari kejadian sejarah gempa yang pernah berlangsung dalam kurun satu dasawarsa sejak gempa Bengkulu 2000 hingga ke gempa Singkil 2011 yang berkekuatan 6,7 Skala Richter semakin menegaskan bahwa ada perubahan struktur kerak samudera oleh proses epirogenesa pembentukan gunung bawah laut. Akumulasi dari kejadian gempa dapat dilihat dari bukti yang ditemukan selama kejadian berlangsung, yaitu : pertama, efek gempa Aceh-Nikobar 2004, terdapat zona robekan patahan sepanjang 600 km menuju ke selatan Jawa, dan memicu pemecahan lempeng seluas 200.000 km persegi ke lempeng mikro Burma. Kedua, gempa Nias-Simeulue tahun 2005, ada perubahan lanjutan akibat gempa Aceh dengan pengangkatan dan penurunan pulau-pulau vulkanik disepanjang pantai barat Sumatera. Salah satunya adalah terjadinya anomali kerentanan seismik di seismik gap antara Nias dengan Mentawai. Ketiga, gempa Bengkulu dalam periode lima tahun telah memberikan akumulasi tekanan pembentukan kerak “sembulan“ disebelah tenggara Bengkulu disepanjang Trench-Java-Sumatera, yang dicirikan adanya gejala peruntuhan tebing dan pembentukan gunung bawah laut raksasa dan merupakan bagian dari kelanjutan patahan sepanjang 1600 km di daratan membentuk akresi prisma di ujung pulau Sumatera di Selat Sunda. Keempat, gempa di Sumatera Barat dan Mentawai, membentuk polarisasi penyerapan energi seismik dan menekan pelengkungan bagian tengah ke utara pulau sumatera mendekati benua Asia. Kelima, gempa Meulaboh-Singkil, menunjukkan adanya proses daur ulang kedudukan tatanan geologis di daerah vulkanik akibat dampak gempa Sumbar oleh pelengkungan utara Sumatera sehingga anomali seismik diujung perbatasan lempeng mengalami berbagai model tekanan, regangan dan peremukan sehingga batuan dasar mengalami distabilisasi pondasi dalam mencari “tumpukan“ agar tidak bergeser.
Dan ini salah satu dari berbagai fakta yang menyebabkan mengapa Aceh, Nias, Sumbar dan Bengkulu masih sering ’berlangganan gempa“. Dan bahwa Pemda wajib meninjau ulang tata ruang daerahnya dengan mereflesikan tata ruang tahan gempa.
REFLEKSI PENATAAN RUANG
Mengingat pengaturan lokasi kegiatan dalam bentuk perencanan tata ruang (RUTR/RTRDW) relatif terlambat dibandingkan dengan perkembangan eskalasi kegiatan ekonomi dan bisnis dalam kawasan industri, serta pemukiman dan penghancuran daerah kawasan hijau yang pesat sehingga akan terlihat lokasi penataan ruang untuk industri relatif masih berbaur dengan dengan kawasan padat kegiatan sosial dan ekonomi didaerah rawan bencana, akan sering menimbulkan kerentanan bencana lingkungan geologi.
Pembangunan tata ruang umumnya selalu mengikuti perilaku penataan ruang untuk relokasi industri di Indonesia belum sadar pemahaman daya dukung lingkungan terhadap bahaya besar yang mungkin saja terjadi secara tiba-tiba, terutama dalam ancaman bencana gerakan tanah yang di “bantu” oleh gempa bumi. Kultur ini juga belum terbangun dikalangan masyarakat luas dalam penataan ruang dan menempatkan sarana fisik dilokasi berbahaya yang bukan untuk peruntukkannya.
Pemerintah daerah di Sumatera seharusnya mereflesikan tata ruang wilayahnya dari kejadian-kejadian gempa di Darat dan Laut Pulau Sumatera termasuk pada kejadian gempa Singkil bahwa tata ruang yang ada perlu “direformasi” dalam bentuk tata ruang berbasis kerentanan geologis bagi kawasan pesisir darat dan laut kepulauan, dengan menyusun suatu landasan pembangunan tata ruang berkarakteristik bencana geologi. Gempa di Singkil yang mampu merusak sarana jalan lintas sumatera itu merupakan pelajaran berharga karena mengingat lokasi pusat kejadian gempabumi cukup jauh ternyata mampu memberi “tamparan” peringatan bagi semua perencana pembangunan tata ruang wilayah.
Refleksi penataan ruang yang berbasis mitigasi di Sumatera sudah harus diimplementasi dalam standar bangunan dan inrfrastruktur tahan gempa, kuncinya adalah penerapan dan pemetaan kerentanan seismik suatu tata lahan yang dikembangkan melalui penelitian gelombang seismik dan kekuatan geoteknik batuan dasar sebagai informasi dasar untuk pembangunan kewilayahan.
Refleksi penataan ruang dapat diadaptasi untuk mengurangi dampak perubahan tatanan geologi bawah permukaan yang merupakan bagian dari cermin data geologi permukaan dalam dua model tata ruang yang bersinergi yaitu pola pembangunan infrastruktur darat-pesisir dan pola penataan ruang pemukiman-infrastruktur (seperti pelabuhan) melalui tata ruang laut kepulauan. Dalam tata ruang darat, semua sarana infrastruktur sudah harus berpedoman bangunan tahan gempa, yang meliputi aspek geologi, penyebaran penduduk, dan garis patahan yang membentuk geomorfologi tata ruang serta mengacu pada peta geo-spasial. Ini berarti pemerintah dan DPR harus menyusun UU Tata Ruang (UUTR) yang komprehensif dari berbabagi disiplin ilmu.
Pola penataan ruang Laut Kepulauan didasarkan pada pengembangan sarana vital yang berlandaskan kepada kearifan lokal yang membentuk kultur penduduk di daerah tertentu dengan mengembangkan pola ruang keragaman dan kekhasan alam yang membentuk karakter pulau-laut. Hal ini dibutuhkan agar tidak terjadi eksploitasi yang melampaui daya dukung lingkungan pulau yang rentan mengalami perubahan deformasi geologi oleh penghancuran dan penumbukan antar lempeng dijajaran pulau di Samudera.
Semua pola pembangunan tersebut sudah harus memiliki berbagai model peta rawan bencana yaitu peta tematik, yang dibuat secara spesifik untuk keperluan khusus dalam penataan ruang darat-pesisir dan laut-pulau.
TEKNOLOGI MITIGASI
Yang lebih penting dari semua model pola pengaturan tata ruang adalah pemerintah wajib menyediakan prasarana dan sarana sistim peringatan dini berupa teknologi seismograf, teknologi tsunami, teknologi pasang surut, teknologi panas air laut, teknologi GPS, teknologi pengolahan data yang real time disetiap provinsi dan teknologi broakband diseluruh pantai Indonesia.
Yang paling penting dari penggunaan teknologi mitigasi ada dua yang menjadi faktor prioritas bagi semua pemerintah daerah di Indonesia yaitu : Mitigasi dalam bentuk tata ruang yang berbasis bencana geologi, dan Simulasi mitigasi dalam bentuk kurikulum pendidikan yang berbasis masyarakat.
Faktor teknologi hanya merupakan alat penunjang, faktor utama ada pada manusianya, sehingga teknologi canggih apapun belum mampu meminimalisasi jumlah korban bila kesiapan sumber daya manusia masih tertinggal. Maka jumlah korban dan infrastruktur akan tetap ada dalam jumlah besar.
Gempa Singkil harus sekali lagi dijadikan renungan pembangunan tata ruang kehidupan berbasis bencana dengan landasan utama pembangunan fisik berwawasan lingkungan.
 
M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Tata Ruang Lingkungan-Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat dalam harian "WASPADA" MEDAN Tanggal 8 September 2011

No comments:

Post a Comment