Sunday, March 31, 2013

Artikel Geologi Gempa : INDONESIA MALAS BELAJAR SEJARAH GEMPA



Rabu, 28 September 2011


INDONESIA MALAS BELAJAR SEJARAH GEMPA
M ANWAR SIREGAR

Indonesia merupakan negara yang berada di jalur Ring of Fire atau negara yang rawan bencana alam geologi seperti tsunami, gunung api, gempa tektonik, gerakan tanah dan bencana klimatologis seperti banjir dan perubahan iklim serta cuaca. Bencana ini datang dengan tiba-tiba tanpa peringatan sehingga memerlukan kemampuan kesiapsiagaan, mitigasi fisik dan non fisik serta sosialisasi penanggulangan secara berkala kepada masyarakat agar dapat menyelamatkan diri dari ancaman bencana.

Jika direnungkan lebih arif dari apa yang telah terjadi dari sejarah dan peringatan akan adanya bencana seperti tanda-tanda bencana gempa oleh para ahli geologi dan geofisika sebelum bencana itu terjadi. Tetapi pemerintah tidak pernah dan lamban mengantisipasi serta kita tidak terlalu menghiraukan temuan mereka.

Sebagai contoh sejak tahun 2000 dan terakhir pada Seminar tentang Tsunami Disaster pada awal 2004 Dr. Danny Hilman Natawijaya, ahli gempa bumi alumni California Institute of Technology (sumber Kompas, 9/1/05), memprediksi bahwa gempa bumi besar akan muncul di pesisir Barat pulau Sumatera. Namun prediksi ini hanya ditanggapi dingin oleh pemerintah.

Prediksi tersebut memang telah terbukti dengan terjadinya gempa besar berkekuatan di atas 7.0 skala richter di Aceh Desember 2004, Pulau Nias 2005, lalu disusul ke Provinsi Bengkulu dan Sumatera Barat pada tahun 2007 dan berlanjut pada tahun 2009 serta diselang selingi gempa berkekuatan sedang di daratan Sumatera. Seperti gempa di Muara Sipongi dan Tapanuli (2008), sekarang dengan kejadian berikutnya di tahun 2010 di Aceh (Sinabang dan Meulaboh, 7.0 SR dan 7.2 SR) dan Panyabungan berlangsung 3 kali dengan durasi 3-6 jam dari gempa utama yang terasa cukup kuat dengan kekuatan 6.0 SR yang goyangannya terasa di Provinsi Riau.

Belum lagi kejadian gempa-gempa kuat di wilayah Timur Indonesia yang berlangsung terus menerus dan kemampuan pemerintah baik pusat maupun daerah belum mampu mengatasi kendala bantuan sehingga hidup masyarakat semakin sengsara karena manejemen tangga darurat begitu lamban. Semua hal ini bisa diatasi bila “rajin belajar”.

Hidup tanpa peringatan
Bertitik tolak dari prediksi yang dikemukan oleh para ahli geologi dan geofisika, seharusnya pemerintah mengubah cara pandang atau paradigma dalam mengambil keputusan pembangunan fisik. Dengan meningkatkan kemampuan pengadaan jaringan teknologi peringatan dini bagi masyarakat di daerah rawan bencana. Karena terdapat 1200 daerah rawan bencana yang masyarakatnya hidup tanpa teknologi peringatan dini.

Hal ini penting, berdasarkan posisinya di permukaan bumi, Indonesia banyak menyimpan potensi terjadinya bencana alam antara lain gempa bumi, gunung berapi meletus, gerakan tanah dan banjir. Sehingga  Indonesia ke depan masih akan banyak menghadapi bencana.

Dari fenomena uraian tersebut, seharusnya pemerintah telah mempersiapkan rakyat untuk lebih selaras menyesuaikan kondisi dan kebijakan rencana pembangunan ketataruangan bagi kepentingan masyarakat. Dari pengamatan selama kurun 10 tahun terakhir ini sejak terjadinya bencana gempa bumi di Bengkulu (2000) kemampuan analisis serta sepak terjang pemerintah dalam mengelola bencana membuat kita harus mengelus dada. Pemerintah belum mampu menjamin keselamatan para penduduknya.  Dan tanggap darurat dan pengambilan keputusan serta manajemen penyaluran bantuan bencana sangat panjang melalui berbagai rantai birokratis yang berbelit dan penuh dengan nuansa politik dan korupsi dana bantuan.

Pemerintahan Indonesia tidak dirancang sebagai pemerintah yang berkesadaran bencana. Hal ini dapat kita lihat dari sering terlambatnya antisipasi pemerintah bila ada bencana walau sekecil sekalipun. Tetapi bencana masih dilihat sebagai takdir yang berharap tidak akan pernah datang.

Karenanya, kesiapsiagaan pemerintah merespon bencana boleh jadi nir-sistim. Pemerintah belum memiliki sistim pengelolaan bencana yang terpadu, yang ditandai dengan ketiadaan kebijakan dan kelembagaan yang pasti, banyak peraturan dan kebijakan pemerintah, serta masih ada dalam bentuk konsep. Justrunya menghambat manajemen bencana, kapasitas sumber daya manusia yang tidak terlatih, infrastruktur dan peralatan dan dana riset yang amat terbatas dan tidak ada sistem peringatan dini di wilayah-wilayah rawan gempa.

Maka bertumbanganlah korban-korban yang tidak berdosa. Kita justrunya menghasilkan dosa besar karena kemalasan yang tidak mau belajar dari kesalahan terdahulu. “Apakah Tuhan mulai bosan dengan tingkat laku kita, yang bangga dengan dosa-dosa”, (Ebiet G Ade). Sehingga ditimpahkan bencana mengerikan di negeri ini.

Riset gempa kecil
Membangun sebuah kota memerlukan perencanaan yang komprehensif dengan melibatkan berbagai disiplin ilmu dan partisipasi masyarakat memberikan masukan informasi. Keberadaan suatu lokasi hunian yang telah ditempati dari generasi ke generasi penting sebagai bahan rujukan tentang kejadian geologi yang pernah berlangsung di suatu wilayah yang belum tercatatkan sejak era teknologi pencatatan gempa. Hal ini dapat digunakan untuk menelusuri keberadaan kejadian gempa kecil yang dianggap remeh dan umumnya yang dicatat adalah kejadian gempa besar sekaligus dijadikan kalkulasi prediksi (patokan) gempa dimasa mendatang.

Kejadian gempa kecil itulah dapat memberikan gambaran yang lebih jelas di suatu wilayah dalam penataan ruang wilayah walau tata ruang wilayah itu belum pernah mengalami kejadian luar biasa bencana gempa. Namun suatu saat dapat memberikan unsur kejutan. Penyebabnya, akumulasi kekuatan bumi selalu bergerak dan bergeser, melalui retak-retakan yang kecil dan berukuran pendek.

Namun apabila ada responsibilatas energi seismik yang ada di sekitarnya akan memberikan stimulus lebih lanjut dari kelanjutan ukurannya. Bila diibaratkan dalam suatu roda kendaraan off road yang menggunakan sistim penggerak 4 x 4, maka tekanan yang disebabkan oleh retakan ke daerah yang memikul beban berat atau tumpukan beban lempeng berupa blok-blok batuan yang bergeser dan menumpuk di atas beban yang lebih tua (blok batuan lebih tua dan rapuh). Maka tekanan roda ban akan dipindahkan ke roda yang tidak menanggung beban berat agar ditemukan keseimbangan. Begitu juga tekanan blok batuan yang terhimpun di lakosi tertentu akan mendesak dan membentuk retak-retak tapi suatu saat akan rapuh. Seperti halnya ban mobil suatu saat mengalami penggembosan maka terjadi suatu ledakan.

Riset dari gempa kecil jarang dilakukan oleh perencana pembangunan fisik untuk infrastruktur dan sering dianggap remeh serta umumnya dimasukan sebagai kategori gerakan tanah. Padahal gerakan tanah masih berhubungan langsung dari gempa bumi tremor. Gempa bumi tremor yaitu gempa yang sering berlangsung terus menerus dalam skala sangat kecil dan tidak terasa oleh manusia dan berubah menjadi besar bila sering berlangsung gempa-gempa besar dengan dampak gerakan tanah di berbagai lokasi. Ini disebabkan fisik tanah telah mengalami “pengayakan” atau menjadi lembek yang kemudian berubah menjadi longsoran material tanah dan batuan.

Diperlukan penelitian bagi wilayah yang belum pernah mengalami gempa besar tapi sering mengalami gempa kecil melalui pemahaman informasi geologi bawah permukaan. Caranya dengan meningkatkan dana riset geologi bawah permukaan sebagai kajian zonasi lahan untuk pembangunan sarana infrastruktur berat.

Contoh kasus ini, kejadian jalan tol Cipularang, atau juga disepanjang jalan Kotanopan ke Kabupaten Pasaman, jalan Aek Latong, jalan Kecamatan dari Sipirok ke Saipar Dolok Hole. Di Kecamatan SDH memang belum pernah mengalami guncangan gempa dahsyat diatas 4.0 SR namun karena kondisi geologinya berada di dekat lokasi pertemuan tumbukan lempeng blok batuan Sumatera di Sipirok, alhasil tekanan itu mendesak dan membentuk retak-retak pendek di bawah permukaan bumi. Ini akibat akumulasi waktu pengumpulan energi puluhan tahunan sehingga menghasilkan gerakan tanah 100 meter di bawah permukaan dan efek penjalaran penyebaran retakan baru memberikan kelanjutan ukuran dibawah permukaan menjadi hampir 1 km.

Efek likuafaksi dapat dilihat dari sarana bangunan dengan adanya pergeseran serta pengangkatan jalan dan hancurnya sarana ibadah. Lokasi tata ruang wilayah itu bila dilihat kasat mata nampak sangat “bagus” untuk pembangunan fisik namun menyimpan potensi bencana.

Harus belajar
Pemerintah harus belajar dari kejadian bencana-bencana terdahulu sebagai cerminan persiapan pembangunan di masa mendatang. Jika diperumpamakan sebagai pelajar, jika ingin naik kelas maka dituntut untuk memahami materi pelajaran yang sudah diajarkan. Pelajaran yang diberikan akan memberikan gambaran kemampuan siswa tersebut untuk mengantisipasi kelemahannya sekaligus akan memberikan gambaran mengatasi kesulitan dia dalam hidup untuk mempertahankan kehidupan.

Bangsa Indonesia adalah bangsa yang besar, bangsa yang seharusnya mengambil hikmah yang telah dianugerahkan Pencipta Alam Semesta. Merenungkan bagaimana Bangsa Indonesia hidup selaras dengan memahami semua kejadian alam sebagai ”pekerjaan rumah” yang berupa materi ”pelajaran sejarah bencana”. Maka Indonesia harus lulus ujian pelajaran bencana yang diberikan ”sang guru alam” yaitu dengan mengurangi dampak korban serta menciptakan teknologi ramah lingkungan dan peringatan dini tsunami yang disebarluaskan ke daerah rawan dan non rawan bencana.

Belajar dari pengalaman ini, pihak pemerintah daerah yang memiliki wilayah pesisir yang rawan gempa, tsunami, dan tanah longsor hendaknya menata kembali wilayahnya. Caranya dengan tidak membangun wilayah permukiman, fasilitas ekonomi, dan industri di dekat pantai. Menata ulang tata ruang hunian dan infrastruktur vital dari kehancuran bencana. Selain itu, perlu dipersiapkan peralatan teknologi dini tsunami, seismograf  dan sirene di setiap daerah rawan bencana, jalur evakuasi untuk penyelamatan penduduk dari ancaman tsunami dan dibangun lokasi pengungsian serta depo untuk bahan makanan dan obat obatan bagi para pengungsi.

Sosialisasi edukasi informasi geologi daerah rawan bencana perlu dilakukan secara berkala. Dari semua itu, pemerintah seharusnya sudah memahami pelajaran yang sudah diberikan namun kenapa juga “bandel” dengan tidak menyelesaikan dan menetapkan RUU kegeologian sebagai UU agar dapat memberikan efek lebih keras bagi segenap lapisan masyarakat. Pemerintah ataupun stakeholder untuk mengendalikan nilai “rapor merah” (baca : korban yang banyak) sehingga Indonesia dapat dianggap sebagai bangsa yang berhasil ”lulus ujian”.
DITERBITKAN PADA HARI Wednesday, 04 August 2010 06:02 HARIAN WASPADA MEDAN

No comments:

Post a Comment