Sunday, March 31, 2013

Artikel Geologi Gempa : Mentawai Terkoyak Gempa


Selasa, 29 November 2011



MENTAWAI TERKOYAK GEMPA
Oleh : M. Anwar Siregar

Kerak bumi terbentuk oleh batuan-batuan yang bergerak diatas suatu litosfera itu telah mengalami proses daur ulang, dan batuan baru yang akan membentuk permukaan bumi juga rentan mengalami penghancuran. Terbentuk suatu lapisan yang diskontinuitas dan memudahkan energi seismik bergerak cepat ke lapisan batuan yang tidak homogen dan meneruskan penghancuran yang jauh dari pusat terjadinya gempa.
Seiring dengan diterimanya anomali magnetik bumi yang ditunjukkan dengan lajur-lajur sejajar yang simetris dengan magnetisasi yang sama di dasar laut pada kedua sisi mid-oceanic ridge, tektonik lempeng menjadi diterima secara luas. Pemahaman terhadap pembentukan daur ulang batuan-batuan di litosfera pada kedua sisi mid oceanic ridge membuka tabir misteri proses terjadinya gempa bumi.
Kemajuan iptek kebumian yang pesat, terutama dalam teknik pencitraan seismik dan kemampuan ahli kebumian membedah tubuh dalam bumi seperti seorang dokter yang membedah tubuh manusia melalui USG, ahli kegempaan bumi juga menggunakan teknik ini dengan teknik geotomografi yang dikembangkan pertama kali ahli geofisika Indonesia Sri Widiantoro yang dapat mengamati lekuk gerak lempeng di dalam dan sekitar zona Wadati-Benioff dan beragam observasi geologis untuk memperkuatkan tektonik lempeng sebagai teori yang memiliki kemampuan yang luar biasa dalam segi penjelasan dan prediksi.
RELAKSASI BUMI INDONESIA
Tekanan yang kuat dari berbagai arah kawasan yang melingkupi wilayah Indonesia oleh empat lempeng raksasa telah mengompres wilayah Indonesia untuk menghasilkan gelombang seismik transversal pada pertemuan lempeng karena gempa paling merusak di Indonesia rata-rata disebabkan oleh gelombang transversal dengan model pergerakan tumbukan yang difaktorkan oleh perbedaan kondisi tatanan geologi antara lain 1. Terjadi perbedaan kesenjangan seismik antara di Kepulauan Mentawai dengan Nias-Simeulue. Kepulauan Maluku-Sulawesi dengan Kepulauan Biak-Papua, 2. Perbedaan pergerakan blok-blok patahan ditiap titik lemah yang ada dipermukaan bumi Indonesia yaitu blok gempa di Pantai Barat Sumatera cenderung ke arah Baratlaut dan memotong ke arah Tenggara ke daratan Sumatera, blok gempa di patahan Laut Jawa bagian Utara dan Selatan bergerak ke Timur Laut lalu ke arah Baratdaya dan blok patahan naik di Nusa Tenggara hingga ke Laut Arafuru bergerak ke Timur ke Utara atau Timur ke Tenggara dan tertekan akibat ada penekanan dari Lempeng Eurasia yang bergerak ke Selatan dan Lempeng Philipina ke Tenggara ke arah Utara blok patahan pulau burung Irianjaya Barat. Lempeng Pasifik menekan blok patahan Sorong-Rassikin di daratan Papua dan pulau-pulau kecil Pasifik kearah Barat untuk mengompreskan wilayah Indonesia dibatas pertemuaan Lempeng Australia di Laut Patahan Banda/Maluku yang bergerak ke Utara lalu memotong ke arah Barat-Baratdaya di Pantai Barat Sumatera, Patahan di Utara Sulawesi di Lempeng Sangihe menekan dengan bergerak ke Timur parit Halmahera sehingga ada pemekaran laut di blok patahan Sulawesi dengan menekan daratan Sulawesi Barat-Gorontalo dengan mendorong tekanan energi pengompresan lagi ke Teluk Tomini Sulawesi Tengah ke Laut Maluku.
Bisa dibayangkan bagaimana gerak relaksasi bumi itu bergerak menekan bumi ruang Indonesia disegala arah di zona patahan tersebut diatas, seperti gelombang yang memancar dengan datang bertubi-tubi untuk saling mendesak zona patahan yang ada di bumi Indonesia. Satu blok patahan mengalami perumukan maka akan ada gerak gelombang sebagai gerak relaksasi bumi untuk mencari keseimbangan.
Jika pergerakan lempeng terjadi di Samudera Pasifik maka akan kita rasakan ada pendesakan kiri kanan diantara pendesakan ataupun pemisahan dalam tubuh lempeng, maka energi gerak gelombang gempa bumi dari batuan akan memerlukan ruang ke zona lainnya, sehingga akan ada pembalikan energi ke zona yang rentan kesenjangan energi (seismik gap) ke wilayah Samudera lain, misalnya Samudera Hindia, maka wilayah Indonesia akan merasakan suatu goncangan yang kuat, difaktorkan zona subduksi yang terdekat saling terpicu, berakhir pada kehancuran dan keremukan batuan yang menghimpun suatu tata ruang, hal inilah menyebabkan relaksasi bumi belum berhenti di Pantai Barat Sumatera terutama di Propinsi Sumatera Barat dengan terjadinya gempa kuat disertai tsunami ke daratan pantai Kepulauan Mentawai dengan pusat gempa di sebelah baratdaya pulau Pagai Selatan dengan kekuatan 7.2 Skala Richter dengan kedalaman 10 kilometer, gempa yang cukup dangkal dan tidak mengherankan menghasilkan tsunami dan menewaskan lebih 120 jiwa. (artikel ini ditulis tanggal 26 Oktober 2010).
KONDISI GEOLOGI
Kondisi geologi gempa di sekitar pulau Mentawai pasca gempa Sumatera Barat pada tahun 2007 dan 2009 masih terus melakukan penyesuaian dan deformasi kekuatan patahan di Mentawai juga masih dalam keadaan tidak stabil sejak terjadi gempa dahsyat Aceh-Andaman pada tahun 2004, yang diperlihatkan oleh intensitas pelepasan kekuatan energi seismik semakin meningkat, pada tahun 2006 energi seismik yang dilepaskan sebesar 5.1 Skala Richter (SR), pada tahun 2007 ketika terjadi gempa Bengkulu, patahan Mentawai melepaskan energi ketegangan dengan kekuatan 5.3 SR, tahun 2008 terjadi pelepasan energi gempa mencapai 5.5 SR dan tahun 2009 zona seismik melepaskan energi gempa 5.8 SR serta tahun 2010 dengan kekuatan 7.2 SR.
Kondisi tatanan geologi tektonik Kepulauan Mentawai berada didaerah pertemuan dua lempeng yakni Lempeng Samudera Indo-Australia dan Lempeng Sunda. Lempeng Indo-Australia menabrak dan menunjam kebawah Lempeng Benua Sunda dengan kecepatan relatif sebesar 7 cm per tahun. Penunjaman kebawah dari lempeng samudera dikarenakan oleh struktur batuan yang lebih padat dibandingkan dengan lempeng benua. Bidang pertemuan dari dua lempeng ini disebut sebagai subduction interface (zona subduksi pertemuan perbatasan antar dua lempeng).
Dalam rentang perioda interseismic terjadi pengumpulan dan akumulasi energi di subduction interface di patahan Mentawai. Gempa Bengkulu yang terjadi tahun 2000, dan 2007 berepicenter di Pulau Enggano sehingga transfer energi akan terdesak ke zona patahan Mentawai, begitu juga gempa yang terjadi di Aceh tahun 2004 dan Nias-Simeulue tahun 2005 dan 2010 “mengirimkan” energi ke patahan Mentawai, selanjutnya energi di Patahan Mentawai dilepaskan setengah-setengah dari tahun 2006 berkekuatan 5.1 SR hingga ke tahun 2009 mencapai 5.8 SR. Energi penyerapan yang selama ini terkumpul dalam sepuluh tahun atau sekitar 177 tahun dari gempa dahsyat yang terakhir terjadi tahun 1833 pada akhirnya dilepaskan melalui gempa ketika batuan tidak dapat menampung energi lagi disertai tsunami setinggi 3-12 meter.
TERKOYAK GEMPA
Sumatera Barat pada tiga tahun berturut-turut mengalami gempa kuat dan merusak dan disertai tsunami maut. Gempa Mentawai terjadi akibat penumbukkan Lempeng Indo-Australia ke Lempeng Eurasia yang menyebabkan tsunami naik akibat ada diskolasi pergerakan turun dan naik pada ujung pertemuan lempeng sehingga naiknya permukaan air laut.
Gempa Mentawai merupakan bagian dari pembenturan dua lempeng yang saling menekan sehingga akumulasi energi yang selama ini ditanggung oleh patahan Mentawai melampaui batas elasitas, namun energi yang dilepaskan baru 1/3 karena biasanya zona subduksi yang tertekan ditengah dua blok patahan kegempaan besar di blok patahan Aceh-Nias di utara dan blok patahan di selatan ujung Patahan Besar Sumatera-Jawa di Selat Sunda seharusnya mampu melepaskan energi yang lebih keras.
Dan tatanan kondisi geologi di dasar laut di Pantai Barat Sumatera masih belum stabil oleh rentetan gempa-gempa besar di Bengkulu dan Sumatera Barat serta Aceh dalam kurun 10 tahun terakhir ini, seharusnya ada tsunami dahsyat walau tidak sedahsyat tsunami Aceh masih lebih “mematikan” dibandingkan tsunami Pangadaran di Jawa Barat tahun 2007. Andaikan terjadi maka tsunami Mentawai “mungkin” mendekati Pantai Teluk Padang dan Muko-muko.
Dalam sejarahnya, Mentawai dua kali mengalami gempa besar pada tahun 1797 berkekuatan 8.3 SR di Pulau Sipora dan gempa dengan kekuatan 8.5 SR tahun 1833 di Pulau Pagai. Diprediksi masih akan melepaskan energi gempa lebih keras daripada tahun ini karena kondisi anomali lempengan bumi masih melepaskan relaksasi ketegangan dan menjadikan Sumatera Barat masih terkoyak gempa khususnya Mentawai masih melepaskan energi gempa yang sangat mematikan disebabkan oleh beberapa faktor kondisi geologi.
1. Anomali medan stress di perbatasan pertemuan antar lempeng masih dalam kondisi labil, sehingga mengakibatkan terjadi pergeseran koordinat pulau-pulau oleh dampak pecahan lempengan Aceh-Andaman yang menggeserkan kerak bumi sejauh 40 cm dalam sepuluh tahun dan merupakan salah satu sumber utama akan penyebab bencana gempa-gempa dalam enam tahun terakhir dengan fokus pendahuluan pada gempa Bengkulu dengan transfer medan stress energi ke Pagai Selatan.
2. Energi yang dilepaskan sebenarnnya masih tersimpan besar, kondisi ini mengingatkan pada kejadian gempa Aceh-Andaman pada tahun 2004, sebelum terjadi bencana besar itu ada gempa-gempa pendahuluan yang cukup kuat di mulai pada gempa Bengkulu tahun 2000, lalu 2002 di Simeulue dan puncaknya tahun 2004 gempa Aceh. Energi gempa Bengkulu telah melepaskan energi yang kuat sebanyak 3 kali kejadian gempa setelah gempa Aceh, sedangkan gempa Mentawai baru sepotong-sepotong, dan mungkin energi di Pagai Selatan ini sedang mendorong ke utara dimana juga terdapat patahan gempa, diperkirakan masih ada energi yang lebih dahsyat sebelum tahun 2033 atau sekitar 23 tahun lagi.
Mentawai kini telah terkoyak, Sumatera Barat berkabung lagi, dan dipastikan dimasa mendatang deformasi siklus gempa di Pantai Barat Sumatera akan berlangsung cepat dan akan selalu ada gempa beruntun berlangsung. Kita sudah harus mempersiapkan diri, teknologi dini dan tata ruang yang berketahanan bencana serta berbasis masyarakat.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Tulisan ini sudah dimuat pada Harian Analisa Tanggal 28 Oktober 2010

No comments:

Post a Comment