Sunday, March 31, 2013

Artikel Geologi Gempa : Gunungapi Sumatera Pesta Maut


Minggu, 30 Oktober 2011



MEWASPADAI GUNUNGAPI SUMATERA “PESTA MAUT”
Oleh M. Anwar Siregar

Fenomena bencana alam yang terus melanda Indonesia dewasa ini semakin menegaskan bahwa Indonesia adalah negeri yang dilahirkan di daerah rawan bencana, fenomena bencana alam seharusnya memberikan sebuah inspirasi perencanaan pembangunan yang berwawasan bencana, karena itu diperlukan kemauan politik pemerintah dan segenap pemangku kepentingan bersama agar dapat menyelaraskan rancang bangun tata ruang daerahnya sesuai dengan karakteristik tatanan geologinya.
Mengingat 81 % gempa bumi yang terjadi di Indonesia (kecuali Kalimantan Barat) disebabkan oleh proses relaksasi gempa bumi masih dalam pencarian titik keseimbangan karena tidak membesarnya bumi maka harus ada ruang untuk di desak. Dengan kata lainnya, bahwa bumi tidak mekar walau pergerakan lempeng terus bergerak dan bertumbukan dan menimbulkan kejadian bencana gempa besar dan kecil terus terjadi, wilayah paling rentan terjadinya ”pesta tarian” gempa adalah sepanjang lingkaran busur api atau ring of fire yang membentang sepanjang 40.000 kilometer mulai dari Peru,Cile (Amerika Selatan), Amerika Tengah, Kepulauan Aleutian, Kepulauan Kuril, Jepang, Filipina, Indonesia, Tonga, hingga ke Selandia Baru.
KENANGAN MASA LALU
Gempa vulkanik jarang terjadi bila dibandingkan dengan gempa tektonik. Gempa vulkanik terjadi karena adanya letusan gunung berapi yang sangat dahsyat. Ketika gunung berapi meletus maka getaran dan goncangan letusannya bisa terasa sampai dengan sejauh 20 mil. Sejarah mencatat, beberapa gunung api di Indonesia bertanggung jawab akibat ”pesta tarian maut” atas banyaknya korban yang pernah ditimbulkan di masa lalu, ”pembunuhan” oleh gunungapi Indonesia dan perubahan tatanan geologi di mulai oleh Super Gunungapi Toba Purba dengan letusan pertama dimulai 840 juta tahun lalu. Letusan ini menghasilkan kaldera di selatan Danau Toba. Letusan kedua yang memiliki kekuatan lebih kecil, terjadi 500 juta tahun lalu, letusan ini membentuk kaldera di utara Danau Toba, yang ketiga terkenal dengan erupsi mega-kolosal yang menyebabkan suatu katastrofi yang dahsyat sekitar 70.000-74.000 tahun yang lalu. Erupsi ini telah menurunkan temperatur lingkungan permukaan Bumi 3-3.5 derajat Celsius secara signifikan selama beberapa tahun dan juga penyebab macetnya arus populasi migrasi manusia dikenal dengan peristiwa reduksi populasi manusia yang masif, memusnahkan banyak manusia yang sedang bermigrasi keluar dari Afrika dan menyisakan 10.000 individu yang hidup terisolasi.
Mega kolosal kedua dari gunungapi super Indonesia adalah hasil letusan gunungapi Krakatau Purba atau induk Krakatau yang meletus tahun 1883, Krakatau Purba diketahui juga ikut andil dalam perubahan kondisi tatanan geologi Indonesia yang membentuk Selat Sunda sekarang dengan ledakan yang maha dasyat dengan pemisahan Sumatera dan Jawa pada tahun 416, lalu disusul ledakan kedua oleh Krakatau tahun 1883, menelan korban lebih 34.000 jiwa, tsunami sejauh lima km kedalam daratan Jawa dan Sumatera, dan perubahan kondisi iklim bumi oleh hembusan dan pelemparan material erupsi mencapai Australia dan Kolombo atau 2/3 permukaan bumi terdengar dan tertutup oleh debu dan asap ledakan Krakatau. Tatanan geologi hancur sedalam 10 km membentuk kaldera, bagian dari titik lemah bola bumi Indonesia.
Mega kolosal ketiga yang mengubah kondisi iklim dunia dan melakukan pembantaian terhadap manusia adalah letusan Gunungapi Tambora pada tahun 1816 yang dikenal sebagai ”tahun tanpa musim panas” karena redupnya sinar matahari oleh penutupan erupsi debu dan asap vulkanis Tambora dan menyebabkan penyebaran wabah penyakit serta kelaparan akibat gagal panen di seluruh dunia, dengan radius pelemparan mencapai 600 km yang menjadikan dunia gelap gulita dalam seminggu lamanya. 
Letusan terdengar melebihi jarak 2000 km dan suhu Bumi menurun beberapa derajat dan mengakibatkan bumi menjadi dingin akibat sinar matahari terhalang debu vulkanis selama beberapa bulan. Sehingga daerah Eropa dan Amerika Utara mengalami musim dingin yang panjang. Sedangkan Australia dan daerah Afrika Selatan turun salju di saat musim panas. Jumlah korban meninggal mencapai 5000 jiwa lebih. Tatanan geologi akibat letusan Tambora membentuk kaldera berdiametar kurang 8 km dan kedalaman 5,6 km dari bibir kawah teratas (sumber wikipedia Indonesia)
FAKTA PESTA
Benturan-benturan kuat antar lempeng yang menyebabkan gempa pada zona subduksi di Samudera Hindia seperti Lempeng Indo-Australia dan Lempeng Eurasia dapat mempengaruhi kekuatan dan kemampuan termodinamika magma dalam menahan laju desakan seismik pada akhirnya dapat meningkatkan aktivitas letusan gunungapi.
Faktanya beberapa gunungapi di Jawa dan Sumatera mengalami peningkatan aktivitas magma bahkan meletus seperti pada kejadian gempa di Yogya dan Jawa Tengah tanggal 27 Mei 2006 bersamaan dengan letusan Gunung Merapi yang menyemburkan awan panas, Gunung Kaba meletus bersamaan dengan gempa tektonik Bengkulu berkekuatan 7,8 SR tahun  2000  dan tahun 2010 ketika terjadi gempa Mentawai beberapa gunungapi di Pulau Sumatera mengalami peningkatan status dari Waspada ke Siaga II, faktanya Anak Gunung Krakatau, Talang, Dempo dan Kaba mengalami kenaikan pergerakan magma ke permukaan.
Korelasi peningkatan intensitas gempa di Pantai Barat Sumatera terhadap peningkatan intensitas suhu magma dibeberapa gunungapi Sumatera perlu diwaspadai antara lain 1. Seulawah Agam, 1.726 m di Aceh Besar 2. Peuet Sague, 2.780 m di Sigli 3. Bur Ni Telong, 2.624 m di Aceh Tengah 4. Sorik Marapi, 2.145 m di Mandailing Natal  5. Marapi 2.891,3 m di Sumatera Barat, 6. Tandikat 2.438 m di Sumatera Barat, 7. Talang 2.597 m di Solok  8. Kerinci, 3.805 m di Jambi, 9. Sumbing Sumatra, 2.508 m di  Jambi, 10.Kaba, 1.952 m di Propinsi Bengkulu, 11. Dempo, 3,159 m di Propinsi Sumatera Selatan, 12. Kumpulan Gunung Anak Krakatau 1250m di Selat Sunda, di Propinsi Lampung, 13. Sibayak 2.094 m di Sumatera Utara, 14. Sinabung, 2.460 m di Prop. Sumatera Utara, 15. Rajabasa, 1281m di Lampung (Sumber PVMBG, Badan Geologi).
KETINGGALAN ZAMAN
Peralatan teknologi kegunungapian di Sumatera Utara masih “ketinggalan mode” dalam mengikuti dan mengantisipasi “pesta dansa” gunungapi sehingga manusia yang semakin padat akan menjadi “ladang pembantaian” khususnya dikawasan Sumatera yang rentan mengalami pembenturan lempeng-lempeng bumi, getaran “dentuman” dapat menggetarkan lantai dasar “dapur magma” gunungapi untuk bergeliat dengan melepaskan hawa panas yang berupa “kerlap-kerlip lampu panas” alias kembang api bom panas.
Khususnya keberadaan tujuh gunungapi di Sumatera Utara harus diwaspadai, gunungapi Sinabung, telah memperlihatkan peningkatan letusan akibat tekanan seismik gempa, “kemampuan” saat ini naik “kelas” dari tipe B ke Tipe A, ketujuh gunungapi tersebut antara lain Sorik Merapi, Sinabung (Tipe A), Sibayak, Sibual-buali, Lubuk Raya, Pusuk Buhit (Tipe B) dan Hella Toba (Tipe C). Dari ke tujuh gunungapi tersebut khususnya gunungapi Sibual-buali dan Lubuk Raya dari pengamatan penulis baik melalui geologi citra satelit maupun tinjauan lapangan sampai saat ini, peralatan seismograf buatan Belanda, dalam bentuk analog, tingkat keakuratan pencatatan data terbatas dan tidak real time, sudah hampir rusak, sistim monitoring tidak menggunakan alat teropong digital serta tidak ada alat sirene tanda bahaya, pos jaga lebih banyak kosong kegiatan.
Bayangkanlah apabila ada peningkatan intensitas gempa sedangkan pengukuran keakuratan sangat terbatas tingkat kedalamannya dan mendadak magma sudah mendekati permukaan baru terdeteksi? Akankah Sibual-buali berikutnya?
Pemerintah harus ”mereformasi” penataan ruang wilayah berbasis bencana dari ancaman berbagai jenis bencana, antara lainpertama, menyusun tata ruang ke dalam integrasi multi bencana, dengan menyediakan ruang evakuasi dan ruang sanggahan berbagai jenis bencana seluas 10 % dari total 30 persen luas daerah hijau dari total luas per kecamatan. Kedua, menyusun aturan zonasi ruang inti kota utama maupun ruang inti kota perbatasan, harus ada ruang khusus lahan abadi bagi ketahanan pangan dan sumber air bersih berkelanjutan, ketiga, fisik infrastruktur, hunian masyarakat dan industri harus dirancang bangunan berketahanan bencana melalui kajian pemetaan geologi yang komprehensif (bawah, permukaan dan udara), untuk mengurangi dampak kemiskinan fisik (biaya rekonstruksi dan rehabilitasi yang menguras cadangan devisa negara) dan non fisik (jumlah kemiskinan tidak bertambah) akibat bencana. keempat, penegakan hukum aturan perundang-undangan yang tegas dari pemerintah dan menjadikan semua aturan itu adalah kepentingan bersama, masyarakat wajib disadarkan dan dipartisipasikan bahwa aturan ini bukan untuk kepentingan pemerintah tetapi masyarakat luas.

M. Anwar Siregar
Geolog, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer, Tulisan ini sudah dikirim ke Harian Medan

No comments:

Post a Comment