Sunday, March 31, 2013

Artikel Geologi Lingkungan : Memilimalisasi Bencana Lingkungan Geologi Berbasis Mitigasi


MEMINIMALISASI BENCANA LINGKUNGAN GEOLOGI BERBASIS MITIGASI

Oleh : M. ANWAR SIREGAR

            Tata ruang lingkungan merupakan sesuatu tempat ruang manusia beraktivitas didalam suatu kerangka ruang dan waktu yang telah ditata sesuai kondisi lahan yang melingkupi lingkungan itu terbentuk dengan menyelaraskan kemampuan tata ekosistem ekologi dan tata ruang hunian serta infrastruktur lingkungan agar ditemukan keseimbangan hidup.
Situasi beberapa bulan terakhir ini telah menyibukkan berbagai kalangan diakibatkan kerusakan lingkungan oleh tidak konsistennya penegakan aturan perencanaan tata ruang, penegakan hukum lingkungan dan aturan UU tata ruang lingkungan, penataan ruang terbuka hijau, aturan building code dan zoning regulation code. Dampaknya telah jelas menyebabkan kerumitan bagi Pemerintah dengan banyaknya lingkungan pemukiman di perkotaan yang jauh dari sehat dan bersih, terlihat diberbagai sudut kota-kota di Indonesia akan terdapat kawasan pemukiman kumuh, pencemaran air disekitar DAS, bangunan dibangun disisi tebing sungai bahkan ada dibibir jurang pantai. Degradasi daya dukung kualitas lingkungan, pelanggaran izin dan berbagai kegiatan illegal lainnya dapat menimbulkan “bom waktu” dimasa mendatang bila tidak ditata ulang kembali.
MITIGASI BERBASIS KERENTANAN BAHAYA
            Merumuskan konsep tata ruang yang dinamis dalam meminimalkan kehancuran tata ruang geologi lingkungan harus merumuskan konsep tata ruang yang bersinergi dengan kawasan-kawasan pertumbuhan melalui kerangka strategis pengendalian pemanfaatan ruang-ruang hijau sebagai faktor utama dalam mengamankan berbagai prasarana dan sarana vital dari berbagai gangguan bencana. Dalam suatu tata ruang, beberapa kejadian bencana seperti banjir dapat dicegah bila daerah itu telah dipetakan sesuai dengan karakteristik bentang alam, begitu juga dengan upaya meminimalisasi kemungkinan risiko gempa bumi bila suatu tata ruang wilayah yang telah direncanakan sudah mengidentifikasi data-data geologi kegempaan lokal agar dapat mengembangkan tata ruang yang berketahanan terhadap kejadian bencana.
Dalam konsep mitigasi berbasis kerentanan geologis yang tinggi menurut Sanderson (1997) meliputi bebarapa faktor antara lain Bahaya (Hazard), Vulnerability (kerentanan) dan Ketahanan atau kapasitas penanggulangan, oleh penulis menambahkan dengan pemulihan atau merekonstruksi model-model pembangunan fisik sesuai dengan karakteristik geologi daerah serta aspek psikologis atau berhubungan mental traumatik. Yang dijelaskan dalam tulisan ini hanya berhubungan dengan aspek bahaya dan kerentanan beserta analisis risiko kerentanan dalam perencanaan tata ruang berketahanan bencana.
Dalam konsep identifikasi tingkat bahaya dapat diberikan beberapa faktor yang harus diperhatikan antara lain pertama, menyangkut data informasi dan identifikasi daerah yang berpotensi menghasilkan bencana berikutnya, dan telah diketahui bahwa wilayah Indonesia diidentifikasi berada diatas 3 (tiga) patahan tektonik yang bekerja aktif yakni Eurasia, Indo-Australia dan Carolina-Pasifik termasuk struktur tanah yang di identifikasi tersusun oleh material vulkanik dan endapan alluvium, potensi dari segala jenis bencana geologi antara lain rawan gempa bumi, tanah longsor, letusan gunung berapi, serta koridor patahan tektonik yang sangat panjang diwilayah Indonesia berada dilepas Pantai Barat Sumatera, lepas Pantai Selatan Jawa, Selat Bali-Nusa Tenggara, lepas Pantai Utara pulau burung Papua dan Laut antara Kalimantan dengan Sulawesi, serta Sulawesi dengan Kepulauan Maluku, Dengan sebaran 400 buah gunung berapi, dan diantaranya 128 masih bekerja aktif.
Kedua, daerah-daerah rawan tersebut di plot ke berbagai jenis peta-peta bencana wilayah dengan melakukan pengaturan pembagian peta daerah kerentanan atau zonasi makro dan mikro (Zoning System Map), yang dibagi tingkatan bahaya, yaitu tingkatan bahaya utama dan tingkatan bahaya ikutan yang disesuaikan dengan karakteristik kondisi geologi yang memayungi daerah tersebut. Dan harus disebarluaskan kepada masyarakat dan investor guna memahami kendala tata ruang dan pengembangannya bila dilakukan rekonstruksi dan rehabilitasi pasca bencana ke daerah bencana sesuai siklus kegempaan dan gerakan tanah.
Ketiga, selanjutnya diperlukan analisis risiko gempa berkelanjutan melalui identifikasi daerah rawan bencana baru, karena telah diketahui saat ini, bahwa arah deformasi pergerakan gempa bumi saat ini telah berubah siklus dari sedang ke pendek (singkat). Dan diketahui lebih lanjut beberapa pantai yang tidak memiliki karakateritik zona kegempaan tinggi kini mengalami gejala-gejala gerakan tanah yang semakin intensif akibat resonasi dan responsif energi seismik gempa semakin menekan daerah yang tadinya stabil, yaitu disekitar pantai Timur Sumatera, daerah Selatan dan Utara Laut Jawa, Pantai Timur Kalimatan Barat.
            Keempat, perumusan perencanaan dan pengendalian tata ruang mitigasi berketahanan bencana geologi dengan memperhitungkan sistem prioritas pencegahan atau mengurangi dampak risiko ketika bencana berlangsung didaerah kerentanan (vulnerability) dengan fokus utama kepada aspek fisik spasial yang mencakup perencanaan struktur ruang dan pola pemanfaatan ruang didaerah yang telah diidentifikasi berpotensi sebagai daerah rawan menghasilkan bencana berikut. Proses perencanaan tata ruang didaerah kerentanan dapat dijelaskan dengan pendekatan sistem yang melibatkan Input (masukan), Proses dan Output (keluaran) berupa rencana tata ruang yang merupakan hasil dari intervensi dan pemetaan (peta zonasi) untuk menghasilkan ruang yang aman dalam beraktivitas, produktivitas dan berkelanjutan dengan memadukan pilar ekonomi, sosial budaya dan lingkungan.

MITIGASI BERBASIS RUANG TERBUKA HIJAU

            Tata ruang lingkungan di Indonesia saat ini dalam kondisi kritis, kritis tata ruang terjadi karena pembangunan dilakukan disuatu wilayah masih sering mengabaikan masalah ekologi tanpa mengikuti pola perencanaan geologi tata lingkungan dan menyebabkan perubahan lingkungan yang tidak sesuai lagi untuk mendukung kehidupan manusia karena daya dukung lingkungan telah mengalami kerusakan dan tidak memenuhi standar perencanaan tata ruang yang telah ditetapkan oleh Peraturan Perundang-undangan.
            Dalam mengendalikan tata ruang lingkungan dari kehancuran akibat bencana geologi dan ulah manusia serta masih berhubungan dengan pengendalian kerentanan geologi dapat dilakukan upaya mitigasi berbasis ruang-ruang hijau terbuka antara lain :Pertama. RDTR atau rencana detail tata ruang diperlukan dalam pengendalian pemanfaatan tata ruang yang berhubungan dengan bencana geologi seperti bencana banjir bandang, dapat dilakukan apabila perangkat pendukung berupa penataan ruang-ruang hijau terbuka tetap dipertahankan pada daerah-daerah penyanggahan seperti kawasan pantai sebagai penahan laju gelombang pasang dan ancaman tsunami dan banjir pada kawasan hijau pusat inti kota dan RTBL hunian yang telah disiapkan. Dan setiap pemanfaatan tata ruang untuk pembangunan fisik harus mempunyai izin terlebih dahulu berupa IMB, dilanjutkan proses pengujian perizinan atas lokasi pemanfaatan pada suatu kawasan untuk pembangunan terlebih dahulu agar ada kesesuaian RTRW, RDTR Kecamatan dan RTBL kawasan khusus, bila layak maka izin diberikan, dan harus dilanjutkan dengan pembuatan Amdal, UKL dan UPL serta site plan. Hal ini penting untuk menghindari pemaksaan penggunaan lahan yang tidak sesuai dengan peruntukkannya. Dan ini salah satu penyebab terjadinya kerusakan lingkungan dan banjir begitu mudah terjadi, padahal curah hujan tidak begitu deras, dan kita telah melihatnya di berbagai kota di Indonesia.
            Kedua, Perencanaan Ruang Terbuka Hijau (RTH) Kota harus juga disesuaikan dengan kemampuan status perekonomian masyarakat agar tidak terjadi dampak padat penduduk ke kawasan hijau pusat inti kota dan merupakan bagian dari pengendalian eskalasi urbanisasi. Hal ini juga perlu disiapkan karena berhubungan dengan pengendalian pembangunan kawasan kumuh oleh penduduk pendatang terhadap ruang terbuka hijau yang saat ini semakin terbatas sekali, akibatnya menimbulkan pergusuran ke kawasan-kawasan pinggiran kota yang masih menyisahkan daerah hijau yang luas. Selain itu, peningkatan pertumbuhan penduduk di kota dan pembangunan kota mengakibatkan harga-harga tanah naik tajam sehingga memerlukan tanah yang memadai. Erat hubungannya daya dukung lahan dan masalah lingkungan hidup. Maka tanah menjadi sumber konflik karena ketersediaan yang terbatas berakhir pada kemunculan kawasan kumuh diberbagai wilayah perkotaan. Ketiga, strategis konsep terpadu penataan ruang terbuka hijau, yaitu mengendalikan kehancuran lingkungan akibat “pembalakan” lahan bagi sumber-sumber daya alam dalam peningkatan perekonomian dan perluasan pembangunan fisik fasilitas perkotaan, kemajuan teknologi, industri dan transportasi, dapat dipadukan dengan berbagai kebijakan menyentuh segala lapisan dengan konsep tata ruang yang berwawasan lingkungan antara lain tata guna lahan pertaniaan abadi, RTBL tiap Kecamatan, dan pemanfaatan ruang kawasan lindung taman margasatwa dan sempadan air sungai, bagian dari ruang-ruang hijau ini harus diisi oleh tumbuhan, tanaman dan vegetasi, guna mendukung manfaat langsung dan/atau tidak langsung yang dihasilkan oleh ruang terbuka hijau suatu kota yaitu pengendalian daerah-daerah rawa yang sebagai resepan air, berfungsi sebagai bioengineering dan biofilter bagi keseimbangan ekosistem dan tata ruang yang aman bagi kehidupan.


MITIGASI BERBASIS BUILDING CODE
            Pentingnya perencanaan tata ruang yang berbasis building code dalam mengantisipasi pengendalian kerentanan daya dukung tanah semakin menurun oleh sebab-sebab gempa, gempa adalah refleksi “kekerdilan” dalam memberi izin perluasan pembangunan fisik ke daerah yang sudah diidentifikasi rawan bencana, contohnya daerah gempa di Yogya, bangunan yang dibangun tidak tahan mengalami guncangan walau kekuatan gempa tidak begitu kuat namun mampu menelan korban dan infrastruktur yang banyak karena berada diatas tanah yang lunak dan mengakibatkan efek guncangan berganda terhadap pembangunan prasarana dan sarana infrastruktur kota, penataan ruang-ruang fasilitas yang tidak mendukung konsep building code serta karakteristik yang membentuk bentangalam daerah dimana tata ruang yang akan direncanakan untuk pembangunan tersebut.
            Dalam konteks peraturan daerah (building code) dalam penataan ruang untuk meminimalisasi dampak bencana, diperlukan suatu proses dan kemampuan untuk menakar risiko berdasarkan perencanaan yang dirumuskan setiap sektor dalam kebijakan peraturan bangun-bangunan dalam suatu Rencana Tata Bangunan dan Lingkungan (RTBL) yang harus dikontrol pemberian izin pembangunan infrastruktur dengan mengadopsi konstruksi bangunan tahan gempa termasuk sabuk hijau/greenbelt bagi kawasan industri. Sebab, tidak jarang diketahui suatu keluputan dalam memberi izin pembangunan gedung dan rumah disekitar lereng pegunungan, bangunan hotel persis dibibir jurang, tempat dimana bangun-bangunan tersebut seharusnya diperuntukan ruang terbuka hijau. Building code diperlukan untuk  memberikan gambaran kekuatan bangunan dan daerah lokasi bangunan kepada masyarakat untuk lebih berhati-hati menempati suatu bangunan dan lingkungan dalam menghadapi bencana alam universal.
MITIGASI BERBASIS MANEGEMEN RISIKO
Mitigasi meliputi tindakan untuk mencegah bahaya dan mengurangi dampak yang akan ditimbulkan dari akibat bencana. Managemen risiko bencana diperlukan dalam mengurangi risiko kerentanan sosial penduduk yang bermukim diwilayah dan atau kawasan rawan bencana melalui media informasi dan teknologi. Pengembangan informasi manajemen risiko diperlukan dalam mitigasi bencana antara lain :
Gempa Bumi, Tsunamidan Vulkanik, mengidentifikasi tata ruang yang aman dari gempa dengan melakukan analisis gempa yaitu seismitas dari kedalaman dan kekuatan episentrum, jarak jangkauan pelemparan material batuan dan debu vulkanik, tipe-tipe tanah beserta gerakan tanah dan struktur geologi seperti perlipatan, sesar, kekar dan perlapisan ke dalam peta-peta bencana wilayah tata ruang yang kemungkinan akan kembali terjadi siklus bencana. Memberikan informasi tata ruang yang aman untuk pembangunan fisik dengan standar berbasis mitigasi bencana. Mengembangkan teknik-teknik konstruksi tahan gempa didaerah rawan bencana beserta jaringan pendeteksi dini. Pencegahan pembangunan infrastruktur dikawasan tsunami dan bekas jejak vulkanik, mempersiapkan rute dan daerah evakuasi serta mengalokasi daerah yang aman dari gempa tektonik, dan pelemparan material vulkanik serta tsunami seperti daerah perbukitan, menginformasikan daerah yang akan tergenang dan menjadi sebuah area danau.
Gerakan tanah dan Banjir, dengan mengidentifikasi daerah rawan longsor, model gerakan tanah, daerah area getaran gempa dan vulkanik dan jenis tanah yang menyusun landscape tata ruang, memanfaatkan wilayah rentan gerakan tanah sebagai RTH untuk pengendalian banjir dan pengontrolan lahan dengan mengembangkan divertifikasi lahan yang produktif bagi keberlanjutan pertanian abadi yang tahan terhadap banjir atau menyesuaikan musim tanam dan reboisasi daerah banjir dan pengadaan jalur evakuasi yang aman.
Konsistensi dari perencanaan penataan ruang merupakan komitmen bersama yang telah disusun dengan program-program yang dilakukan oleh berbagai sektor pembangunan harus ada pertimbangan aspek teknis yang dilengkapi dengan adanya partisipasi masyarakat secara berkelanjutan agar pemanfaatan tata ruang yang telah disusun tetap mengacu kepada rencana tata ruang yang telah disepakati bersama sehingga dengan demikian pembangunan tata ruang lingkungan dikota dapat dilaksanakan sesuai dengan rencana, dan berkelanjutan karena ada rasa memiliki dari masyarakat terhadap investasi yang diperuntukan untuk masyarakat dan bukan merupakan kepentingan pemerintah.


M. Anwar Siregar
Geologist, Pemerhati Masalah Lingkungan dan Geosfer
Tulisan Saya ini sudah pernah dimuat/diterbitkan langsung di Harian Surat Kabar "ANALISA" MEDAN Pada Tanggal 9 September 2009. Harap Pembaca Memaklumi jika ada tulisan sama di blogger lain.

No comments:

Post a Comment